Dialect vs. Diglossia — Simple Summary

 Dialect vs. Diglossia — Simple Summary

A dialect is a variation of a language used by people in a certain region or social group. Dialects differ in pronunciation, vocabulary, and grammar. For example, Banyumas Javanese vs. Surabaya Javanese, or British English vs. American English.

A diglossia is a social situation where two forms of a language (or two different languages) exist together in a community, but each has a different function. One form is used for formal or official purposes (high variety), while the other is used for daily casual communication (low variety). For example, Standard Indonesian for speeches and news, while everyday Indonesian or local languages for informal conversation.


Focus Difference

  • Dialect studies how language forms vary across places and groups (sounds, grammar, vocabulary).

  • Diglossia studies when, where, and why people use formal or informal language varieties in society.


Illustrative Examples

Dialect example:
Jakarta, Medan, and Makassar varieties of Indonesian sound different but have equal status; there is no formal vs informal division.

Diglossia example:
Formal Indonesian for official speeches vs. informal Indonesian/local languages for daily talk.
In Arabic societies, Modern Standard Arabic is formal, while local dialects are for everyday use.


Related Concepts Explained Simply

A. Dialect-related concepts

Sejarah munculnya World wide Web dan Sci-Hub yang Kontroversial

 


Sejarah munculnya World wide Web dan Sci-Hub yang Kontroversial

Pada awal kemunculannya, pernyataan bahwa World Wide Web was intended for free information sharing  merujuk pada visi dasar Tim Berners-Lee ketika mengembangkan World Wide Web (WWW) di CERN pada tahun 1989–1991. Berners-Lee merancang web sebagai ruang informasi global yang memungkinkan siapa pun untuk membuat, menghubungkan, dan mengakses pengetahuan tanpa hambatan teknis maupun finansial. Prinsip fundamental ini lahir dari kebutuhan komunitas ilmiah yang ingin bertukar data penelitian secara cepat, mudah, dan terbuka.

Sistem yang dikembangkan Berners-Lee—meliputi HTML, HTTP, dan URL—didesain sebagai standar terbuka yang bisa digunakan tanpa lisensi. Dengan pendekatan ini, WWW menjadi platform yang inklusif, mudah diadopsi, dan bebas biaya. Tujuannya adalah memastikan informasi dapat mengalir secara bebas sehingga kolaborasi ilmiah dan pengembangan pengetahuan tidak terhambat oleh batasan akses atau monopoli teknologi.

Semangat keterbukaan tersebut menegaskan bahwa web pada awalnya bukanlah proyek komersial. Justru, ia dimaksudkan sebagai sarana demokratisasi informasi global, tempat siapa pun dapat membaca, menulis, dan berbagi data. Karena itu, banyak pihak memandang WWW sebagai tonggak penting dalam gerakan akses pengetahuan yang terbuka (open knowledge) dan akses publik terhadap ilmu pengetahuan (open access). Nilai-nilai ini kemudian menginspirasi berbagai inisiatif yang menentang praktik komersialisasi berlebihan dalam publikasi ilmiah.

Daftar Dosen dan Tendik UIN Salatiga

  SUMBER: Homepage - UIN SALATIGA

No Nama Dosen Pangkat Gol Jabatan Fungsional Keterangan

1 Prof. Dr. Mansur, M.Ag. Pembina Utama IV/e Guru Besar PNS

2 Prof. Dr. Zakiyuddin, M.Ag. Pembina Utama IV/e Guru Besar PNS

3 Prof. Dr. Muh. Saerozi, M.Ag. Pembina Utama IV/e Guru Besar PNS

4 Prof. Dr. Winarno, S.Si., M.Pd. Pembina Utama IV/e Guru Besar PNS

5 Prof. Dr. Imam Sutomo, M.Ag. Pembina Utama IV/e Guru Besar PNS

6 Prof. Dr. Sa`adi, M. Ag. Pembina Utama Madya IV/d Guru Besar PNS

10 Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga & Kelebihan Mereka

 Berikut penjelasan lengkap, ringkas, dan akurat tentang 10 sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang dijamin masuk surga (al-‘Asharah al-Mubashsharūna bil-Jannah) beserta kelebihan dan keutamaan masing-masing hingga mereka mendapat kabar gembira masuk surga.

Riwayat paling terkenal terdapat dalam Hadis At-Tirmidzi no. 3747.


🌟 10 Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga & Kelebihan Mereka

1. Abu Bakar Ash-Shiddiq (عبد الله بن أبي قحافة)

Kelebihan:

  • Gelar Ash-Shiddiq karena membenarkan Nabi tanpa ragu, terutama saat Isra’ Mi‘raj.

  • Orang pertama yang masuk Islam dari kalangan laki-laki dewasa.

  • Sahabat paling dicintai Nabi (HR. Tirmidzi).

  • Menemani Nabi dalam hijrah—satu-satunya yang disebut dalam Al-Qur’an (At-Taubah:40).

  • Pengorbanan harta paling banyak untuk Islam.

  • Menjadi khalifah pertama, menumpas murtad, menjaga keutuhan Islam.


2. Umar bin Al-Khattab (عمر بن الخطاب)

What is cyberpragmatics?

 


Cyberpragmatics is a branch of pragmatics that studies how people create, interpret, and negotiate meaning in internet‑mediated communication, using a cognitive and relevance‑theoretic lens. It offers a powerful framework for understanding how politeness and impoliteness are shaped by the technological features, norms, and affordances of online interaction.library.oapen+3

What is cyberpragmatics?

Cyberpragmatics, coined by Francisco Yus, analyzes interactions in online environments such as social media, chats, email, blogs, virtual worlds, and other platforms where communication is mediated by digital technology. It focuses on how users infer speaker meaning under conditions of reduced non‑verbal cues, asynchronous timing, multimodal resources, and interface constraints, drawing heavily on cognitive pragmatics and relevance theory.personal.ua+3

From this perspective, online communication is seen as underdetermined: what is typed or posted only partially encodes the intended meaning, so users rely on contextual assumptions, platform conventions (e.g., likes, emojis, hashtags), and shared background knowledge to reach intended interpretations. Cyberpragmatics also stresses that different platforms (e.g., Instagram comments, WhatsApp chats, LMS forums) provide different amounts and types of contextual information, which affects how easily politeness or impoliteness is recognized and evaluated.academia+2

Core principles relevant to (im)politeness

Several core ideas of cyberpragmatics are directly linked to politeness and impoliteness in social interaction:

Perjalanan manusia di akhirat, mulai dari sakaratul maut → Pilihan surga & neraka.

 Berikut kumpulan ayat Al-Qur’an dan hadis sahih yang paling lengkap dan paling utama tentang perjalanan manusia di akhirat, mulai dari sakaratul maut → alam kubur → mahsyar → hisab → shirath → surga & neraka.

(Semua ayat ditulis lengkap dengan surah dan nomor ayat, dan hadis hanya dipilih dari Shahih Bukhari & Muslim atau hadis sahih yang disepakati para ulama).


📌 1. SAKARATUL MAUT

Ayat Al-Qur’an

1. Surah Qaf 50:19

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.”

2. Surah Al-Waqi’ah 56:83–87

“Maka mengapa ketika ruh (seseorang) sampai di kerongkongan… dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu… tetapi kamu tidak melihat.”

3. Surah Al-An’am 6:93

Tentang malaikat mencabut nyawa orang zalim dengan keras.

4. Surah An-Nazi‘at 79:1–2

“Demi malaikat yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan malaikat yang mencabut dengan lemah lembut.”


Hadis Sahih

1. Hadis Bara’ bin ‘Azib (Riwayat Ahmad, sahih)

Nabi menjelaskan keadaan ruh ketika dicabut:
• Ruh mukmin keluar “seperti tetesan air dari mulut kendi”,
• Ruh kafir dicabut “seperti besi yang dicabik dari wol basah”.

2. HR. Bukhari 4449 & Muslim 2872

Malaikat maut datang membawa kabar gembira atau siksa sesuai amal.


📌 2. ALAM BARZAKH / KUBUR

Jenis-Jenis model pengembangan Research and Development (R&D)

Berikut penjelasan lengkap, sistematis, dan mudah dipahami tentang Penelitian dan Pengembangan (Research and Development/R&D) beserta jenis-jenis model pengembangannya (ADDIE, PPE, Borg & Gall R&D, dan 4D), serta contoh aplikasinya dalam penelitian linguistik dan English Language Teaching (ELT).
 
1. DEFINISI PENELITIAN R & D (RESEARCH AND DEVELOPMENT)

Penelitian dan Pengembangan (R&D) adalah metode penelitian yang bertujuan menghasilkan produk baru atau mengembangkan/memperbaiki produk yang sudah ada melalui proses yang sistematis, teruji, dan berulang (iteratif).

Produk yang dikembangkan bisa berupa:
Model pembelajaran
Media pembelajaran (video, modul, aplikasi, e-learning, games)
Instrumen asesmen
Kurikulum atau silabus
Perangkat pembelajaran (RPP, buku ajar)
Pedoman atau panduan bahasa
R&D tidak hanya membuat produk, tetapi juga menguji keefektivan produk melalui validasi ahli dan uji coba terbatas/luas.
 
✅ 2. MODEL–MODEL DALAM R&D DAN APLIKASINYA

Berikut 4 model R&D yang paling populer dalam penelitian pendidikan, linguistik terapan, dan ELT:
⭐ A. Model ADDIE

UAS ASSIGNMENT FOR TBI 5TH SMT 2025

 

Assalamu alaikum 

Dear Students, this is the UAS ASSIGNMENT FOR TBI 5TH SMT 2025. Your task is to make a concise or short Graduating Paper Proposal by using this outline.

TITLE (for example: THE USE OF DICTOGLOSS IN IMPROVING STUDENTS’ LISTENING AND WRITING SKILLS)

I. INTRODUCTION

A. Background of the Study

B. Research Questions

C. Objectives of the Study

D. Significance of the Study

II. LITERARY REVIEW

A. Listening Skill

B. Writing Skill

C. Dictogloss

D. Previous Studies

E. Conceptual Framework

III. RESEARCH METHODOLOGY

A. Research Design

B. Participants

C. Research Location and Time

D. Research Instruments

E. Data Collection Procedures

F. Data Analysis Techniques

IV. REFERENCES

This is an example of a mini graduating paper proposal: https://www.pakfaizal.com/2025/11/example-of-mini-research-proposal-for.html

Submission Form https://forms.gle/tTarS7MxDdZ7avZp6

The deadline of submission : Saturday 23.59. December 20th, 2025

EXAMPLE OF MINI RESEARCH PROPOSAL FOR TBI OR ENGLISH EDU DEPT STUDENTS

 EXAMPLE OF MINI RESEARCH PROPOSAL FOR TBI OR ENGLISH EDU DEPT STUDENTS


RESEARCH PROPOSAL

THE USE OF DICTOGLOSS IN IMPROVING STUDENTS’ LISTENING AND WRITING SKILLS

I. INTRODUCTION

A. Background of the Study

Listening and writing are two essential skills in English language learning, yet many students continue to face challenges in comprehending spoken texts and expressing ideas coherently in written form. Limited vocabulary, low concentration during listening, and insufficient awareness of text organization frequently hinder learners’ performance in both skills (Brown, 2004). Dictogloss, introduced by Wajnryb (1990), is a pedagogical technique that integrates listening and writing through note-taking, collaborative reconstruction, and grammar awareness activities. Previous studies have shown that dictogloss can improve language comprehension, vocabulary retention, and writing coherence (Jacobs & Small, 2003; Kowal & Swain, 1994).

Although dictogloss has been widely studied, several gaps in our understanding remain. First, many previous studies focus primarily on grammar improvement or general writing performance (Kowal & Swain, 1994), while fewer investigate its dual impact on both listening and writing skills simultaneously. Second, research in Asian EFL contexts often examines dictogloss in higher education settings (Hanafi, 2014), leaving limited evidence from secondary school learners whose linguistic and cognitive characteristics differ significantly. Third, little attention has been given to students’ perceptions of dictogloss as a skill-integration technique, despite evidence that learner attitudes influence task effectiveness and learning outcomes (Nunan, 2004). These gaps suggest the need for empirical research that examines the effectiveness of dictogloss in enhancing both listening and writing skills among secondary-level EFL students, and explores their responses to the technique.

The novelty of the present study lies in its integrated focus on listening and writing skills within a single instructional intervention. Unlike previous research that tends to isolate the effects of dictogloss on either listening or writing, this study investigates how the technique simultaneously enhances both receptive and productive skills. Additionally, the study incorporates learners’ perceptions, offering insight into the motivational and affective dimensions of using dictogloss in the classroom. This combination of skill integration and perceptual analysis provides a more comprehensive understanding of how dictogloss functions in real classroom contexts, particularly at the secondary school level—an area that has been underrepresented in previous studies.

Theoretically, this study contributes to the literature on integrated-skills instruction by demonstrating how dictogloss facilitates cognitive processes that connect listening input with written output. Through collaborative reconstruction, students engage in noticing, hypothesis testing, and metalinguistic reflection, which are core components of Swain’s (1995) Output Hypothesis. By demonstrating how dictogloss facilitates these processes across both listening and writing modes, the study provides empirical support for task-based learning theories and reinforces the argument for using collaborative reconstruction tasks to enhance multiple language skills simultaneously. The findings may also refine existing models of dictogloss by highlighting its role not only as a grammar-awareness task but as a comprehensive skill-integration tool in EFL contexts.

B. Research Questions

Does dictogloss improve students’ listening skills?

Does dictogloss improve students’ writing skills?

What are students’ perceptions of using dictogloss?

FIRST LANGUAGE ACQUISITION (FLA)

FIRST LANGUAGE ACQUISITION (FLA)

First Language Acquisition adalah proses ketika seorang anak memperoleh bahasa pertamanya sejak lahir hingga sekitar usia 5 tahun. Proses ini terjadi secara alami, tanpa instruksi formal, dan berlangsung melalui interaksi biologis, kognitif, dan sosial.
Contoh umum:
Seorang bayi Indonesia yang tidak pernah diajari secara eksplisit tetap bisa memahami dan menghasilkan bahasa Indonesia secara fasih saat berusia 4–5 tahun.

A. The Behavioristic Hypothesis   
(Hipotesis Perilaku)
Definisi Hipotesis ini berpendapat bahwa anak memperoleh bahasa melalui stimulus-respons, yaitu:
Meniru ucapan orang dewasa
Diperkuat oleh pujian atau koreksi
Belajar bahasa seperti belajar kebiasaan (habit formation)
Tokoh utama: B.F. Skinner

Contoh Nyata
Anak mendengar ibunya mengatakan: “Ini susu.”
Anak mencoba mengulang: “Susu.”
Ibu tersenyum dan memuji: “Pintar!”
→ Penguatan positif membuat anak terus menggunakan kata tersebut.
Anak mengatakan: “Mau ciki!”
Orang tua membetulkan: “Mau makan ciki.”
Setelah sering dikoreksi, anak mulai mengucapkannya dengan benar.

Neurolinguistics and English Language Teaching (ELT)

 Neurolinguistics and English Language Teaching (ELT) are closely related because neurolinguistics studies how the brain processes language, and this knowledge can directly influence how languages are taught and learned. Understanding the neurological basis of language acquisition helps ELT practitioners design more effective teaching methods that align with how students' brains process and internalize language.


### Relationship between Neurolinguistics and ELT

Neurolinguistics provides insights into brain functions related to language learning, such as how learners process grammar, vocabulary, and pronunciation. This helps educators tailor their teaching strategies to the cognitive and neurological needs of learners, fostering better language acquisition and retention. For instance, neurolinguistics explains why younger learners may acquire second language skills more naturally than adults due to brain plasticity differences.

Aplikasi ilmu neurolinguistik dalam pengajaran bahasa Inggris

 Aplikasi ilmu neurolinguistik dalam pengajaran bahasa Inggris sangat penting dan beragam, karena neurolinguistik memprogram interaksi antara pikiran dan bahasa (verbal dan nonverbal), sehingga dapat menghasilkan perilaku dan pemahaman bahasa yang optimal, sesuai kapasitas otak kanan dan kiri manusia. 

Contohnya, metode Neuro Linguistic Programming (NLP) digunakan dalam kelas bahasa Inggris untuk meningkatkan keterampilan berbicara dan motivasi belajar siswa melalui teknik seperti mirroring, modelling, pacing, anchoring, dan penggunaan representasi sensorik (auditori, visual, kinestetik). Teknik-teknik ini menyesuaikan gaya belajar siswa dan menciptakan lingkungan belajar yang dinamis serta efektif. Misalnya, guru menggunakan kata-kata auditori untuk siswa dengan modalitas auditori, kata-kata visual untuk siswa dengan modalitas visual, dan kata-kata kinestetik untuk siswa dengan modalitas kinestetik agar materi terserap lebih baik pelajaran akan mudah diserap apabila gurunya sering menggunakan kata-kata yang berkategori auditori" atau “pelajaran akan mudah diserap melalui kata-kata yang diucapkan guru berkategori kinestetik”.[1][3][4]

Di Balik Setitik Cahaya

Suatu malam di kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk, Rafi, seorang mahasiswa filsafat, menatap langit dari atap kosnya. Ia baru saja selesai membaca buku tebal berjudul “The God Delusion.” Buku itu membuatnya berpikir keras: mungkinkah semua yang ia yakini selama ini hanya ilusi?

“Jika alam semesta ini berjalan otomatis tanpa campur tangan siapa pun, lalu mengapa aku merasa ada makna di balik segalanya?” gumamnya lirih.

Keesokan harinya, Rafi menemui Pak Arman, dosennya yang dikenal bijak dan berwawasan luas.

“Pak,” katanya, “saya sedang berpikir… mungkin Tuhan itu hanya konsep yang dibuat manusia karena ketakutan terhadap kematian.”

Pak Arman menatapnya dengan senyum tenang.

“Pertanyaan yang bagus, Rafi. Tapi katakan padaku, apakah ketakutan melahirkan keteraturan?”

Rafi terdiam. “Maksud Bapak?”

“Lihatlah tubuhmu,” lanjut Pak Arman. “Jantungmu berdetak tanpa kamu perintah. Udara masuk dan keluar dengan ritme yang sempurna. Alam memiliki hukum yang konsisten—matematika, gravitasi, simetri—semuanya berbicara tentang akal dan maksud, bukan kebetulan. Jika semua hanya hasil acak, mengapa hasilnya begitu teratur?”

Rafi mencoba membantah, “Tapi, bukankah semua itu bisa dijelaskan oleh sains?”

Pak Arman tersenyum lagi.

“Betul. Tapi sains menjelaskan bagaimana, bukan mengapa. Sains bisa menjelaskan bagaimana bunga mekar, tapi tidak bisa menjelaskan mengapa keindahan itu menyentuh hatimu. Di titik itu, akal bertemu makna. Dan makna selalu menuntun pada asalnya.”

Beberapa minggu kemudian, Rafi mengikuti program pengabdian di desa terpencil. Di sana, ia bertemu Ibu Siti, seorang wanita tua yang setiap pagi memberi makan anak-anak yatim dengan senyum ikhlas, meski hidupnya serba kekurangan.

Rafi bertanya, “Ibu, kenapa Ibu masih berbuat baik padahal hidup Ibu sendiri sulit?”

Ibu Siti menjawab pelan, “Nak, karena aku yakin Allah tidak melihat hasil, tapi niat. Hidup ini singkat, tapi kebaikan itu kekal.”

Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak yang redup, Rafi kembali menatap langit.

Ia teringat ucapan dosennya: “Agnostisisme sering lahir bukan karena kurang bukti, tapi karena hati belum bersih dari kabut keraguan.”

Rafi akhirnya menulis di jurnalnya:

“Ateisme menganggap alam tanpa makna, agnostik ragu karena takut salah. Tapi keduanya berhenti mencari setelah menemukan tanda-tanda. Padahal kebenaran sejati bukan dihindari, tapi didekati dengan rendah hati.”

Dan untuk pertama kalinya setelah lama, Rafi menunduk… bukan karena kebingungan, tetapi karena kesadaran.

Cerita: Cangkir Kopi dan Alam Semesta

🌌 Cerita: Cangkir Kopi dan Alam Semesta

Suatu sore, di sebuah taman universitas, dua sahabat lama bertemu: Arif, seorang dosen filsafat yang beriman, dan Dian, seorang ilmuwan yang mengaku ateis.

Mereka duduk di bawah pohon rindang sambil menikmati kopi panas. Angin berhembus pelan, dan dedaunan jatuh satu per satu ke tanah.


Dian: “Arif, aku sering berpikir, alam semesta ini berjalan dengan hukum-hukumnya sendiri. Tak perlu Tuhan untuk menjelaskannya.”
Arif: “Benar, hukum-hukum alam memang menakjubkan. Tapi bukankah yang membuat hukum itu lebih menakjubkan lagi?”

Dian tersenyum, meneguk kopinya. “Mungkin saja hukum itu muncul begitu saja, seperti kebetulan kosmik.”

Arif lalu menunjuk ke cangkir kopi di tangan Dian.


Arif: “Kopimu itu, apakah muncul sendiri di tanganmu?”
Dian: “Tentu tidak. Aku memesannya dari barista.”
Arif: “Lalu, barista itu membuatnya dengan bahan yang disiapkan petani kopi, bukan?”
Dian: “Ya, benar.”
Arif: “Jadi, sesuatu yang sederhana seperti secangkir kopi pun membutuhkan rantai sebab-akibat yang panjang dan penuh kesadaran manusia. Sekarang, pikirkan alam semesta — jauh lebih kompleks, jauh lebih indah. Apakah masuk akal bila sesuatu yang sesempurna itu muncul tanpa kesadaran yang lebih tinggi?”

Dian terdiam. Ia menatap permukaan kopi yang berputar pelan tertiup angin.


Dian: “Tapi Arif, aku percaya pada bukti ilmiah, bukan pada hal yang tak terlihat.”
Arif: “Dan bukti ilmiah justru menuntun kita pada keteraturan dan keseimbangan. Kalau keteraturan adalah bukti adanya sistem, bukankah sistem menandakan adanya perancang?”

Setelah lama hening, Arif menambahkan pelan:

Arif: “Ketika seseorang menolak keberadaan Tuhan, ia bukan sedang menolak bukti, tapi menolak makna. Ia ingin alam semesta berjalan tanpa harus bertanggung jawab kepada siapa pun.”

Dian menatap langit sore yang mulai berwarna jingga. Ia tidak menjawab, tapi di dalam hatinya ada pertanyaan baru — bukan tentang Tuhan yang harus dibuktikan, melainkan tentang makna keberadaannya sendiri di tengah jagat raya yang begitu tertata.

Cerita: Eksperimen yang Tak Selesai tapi muncul Insight Baru

⚛️ Cerita: Eksperimen yang Tak Selesai

Di sebuah laboratorium riset fisika kuantum di Tokyo, Dr. Adrian Rahman, seorang ilmuwan muda ateis, tengah memeriksa hasil eksperimen tentang fluktuasi partikel dalam ruang hampa. Ia percaya bahwa alam semesta muncul dari “ketiadaan” — bahwa semuanya adalah hasil kebetulan kuantum.

Suatu malam, Profesor Hana, dosen tamu dari Oxford sekaligus seorang teolog-fisikawan, datang mengunjungi labnya.

Hana: “Masih mengejar teori asal mula semesta dari ketiadaan, Adrian?”
Adrian: “Ya. Jika kita bisa membuktikan bahwa partikel bisa muncul dari vakum kuantum, maka kita tak perlu Tuhan untuk menjelaskan penciptaan.”

Profesor Hana tersenyum tipis dan menatap layar monitor yang menampilkan data eksperimen.


Hana: “Menarik. Tapi izinkan aku bertanya — siapa yang merancang sistem eksperimental ini?”
Adrian: “Saya. Bersama tim saya.”
Hana: “Dan siapa yang menulis algoritma pemroses datanya?”
Adrian: “Saya juga.”
Hana: “Lalu kenapa kamu yakin bahwa sistem yang jauh lebih kompleks — seluruh semesta ini — tidak memerlukan perancang?”

Adrian terdiam. Ia mencoba menjawab dengan nada rasional.


Adrian: “Karena hukum-hukum fisika sudah cukup menjelaskan keteraturan itu.”
Hana: “Tapi hukum-hukum itu berasal dari mana? Kamu menggunakan konstanta, energi, dan probabilitas. Namun apa yang menegakkan hukum itu agar konsisten dan tidak runtuh? Hukum tidak bisa menegakkan dirinya sendiri — sama seperti program yang tidak bisa menulis dirinya tanpa penulis.”

Hening sejenak. Di layar, muncul pola interferensi partikel yang membentuk struktur simetris — begitu indah, nyaris artistik.


Hana: “Lihatlah pola itu, Adrian. Ia menunjukkan bahwa di tingkat paling dasar dari realitas, ada harmoni. Dalam fisika kuantum, keteraturan dan ketidakpastian saling melengkapi — seperti catatan dalam simfoni.
Tapi simfoni tanpa komponis hanyalah kebisingan acak.
Bukankah lebih rasional mengakui ada Kecerdasan yang menata ketidakpastian itu?”

Adrian menatap layar lama sekali. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan persamaan matematis — rasa takjub yang disertai kesadaran bahwa mungkin, di balik seluruh mekanika alam semesta, ada “Sang Pemrogram” yang tak terlihat.

Definition of Ecolinguistics

 1. Definition of Ecolinguistics

Ecolinguistics is an interdisciplinary field that explores the relationship between language, ecology, and society. It studies how language shapes, reflects, and influences human interactions with the natural environment. Originating in the 1990s from the ecological turn in linguistics, ecolinguistics seeks to understand how discourses either support or undermine ecological sustainability.

According to Arran Stibbe (2015, 2021), ecolinguistics examines the stories we live by—the deep narratives, metaphors, and ideologies embedded in language that affect how people perceive and act toward the environment. It is both analytical (describing linguistic patterns) and ethical (evaluating whether these patterns contribute to ecological wellbeing).


2. Focus and Scope of Ecolinguistics

Ecolinguistics integrates linguistic analysis with ecological and cultural awareness. Its focus and scope can be described through several dimensions:

Focus AreaDescription
Ecological Discourse AnalysisInvestigates how texts construct relationships between humans, other species, and the environment.
Critical EcolinguisticsEvaluates whether language promotes ecological harmony or ecological destruction, often guided by Stibbe’s (2021) framework.
Cultural Ecology of LanguageExplores how linguistic expressions embody ecological wisdom and cultural values (e.g., in indigenous or local traditions).
Deictic and Semiotic PerspectivesExamines spatial, temporal, and personal deixis in representing ecological relationships.
Language and IdentityStudies how ecological identity and belonging are linguistically constructed (drawing on Kramsch’s view of language as symbolic of culture).

Thus, the scope of ecolinguistics extends from media discourse, policy texts, and advertisements to works of art and literature, which function as powerful reflections of ecological ideology.


3. Examples of Ecolinguistic Analysis in Works of Art

a. Poetry

  • Example: William Wordsworth’s “Lines Written in Early Spring”

    • Analysis: Through transitivity and appraisal analysis, the poem’s language reveals harmony between human and nature but also laments human alienation. The ecolinguistic reading exposes the contrast between anthropocentric and ecocentric worldviews.

b. Short Stories

  • Example: Ken Liu’s “The Paper Menagerie”

    • Analysis: The story’s use of metaphor and symbolism shows the loss of connection between human culture and natural materials (paper animals as living ecology). Ecolinguistics uncovers how modernity and linguistic assimilation destroy ecological empathy and identity.

c. Novels

  • Example: George Orwell’s Animal Farm (Ecolinguistic Deixis Analysis)

    • Analysis: Spatial deixis like “in the farmhouse” and “on the farm” represent ideological control and ecological disconnection. Temporal deixis such as “from that day onwards” marks the manipulation of natural cycles. Language thus constructs ecological alienation and loss of communal harmony.

d. Drama

  • Example: Henrik Ibsen’s An Enemy of the People

    • Analysis: Through dialogue and conflict, ecolinguistic analysis reveals how discourse of economic progress suppresses environmental truth. The play becomes a critique of industrial discourse that prioritizes profit over ecological health.


4. Theoretical Contributions of Ecolinguistics

AspectTheoretical Contribution
Critical FrameworkProvides a normative dimension to linguistics—evaluating language ethically in relation to environmental sustainability.
Integration of DisciplinesBridges linguistics, ecology, philosophy, and cultural studies, enriching both environmental humanities and language studies.
New Analytical ToolsIntroduces frameworks like Stibbe’s Story Types (destructive vs. beneficial stories) and Ecosophy (a guiding ecological philosophy).
Reconceptualizing LanguageRedefines language as an ecological system—a living part of the environment, not merely a social construct.
Empowerment for ChangeEncourages eco-awareness and activism through critical reading and writing, making literature a site for ecological transformation.

5. Summary

In short, ecolinguistics studies how language constructs ecological relationships, offering a critical perspective on how texts shape environmental understanding. Applied to art and literature, it helps uncover underlying ecological ideologies—whether they promote care, alienation, or destruction of the natural world—while contributing theoretically to the ethical and ecological expansion of linguistic inquiry.

UIN Salatiga Showcases 196 Research Projects at AIICARE 2025: Bridging Science, Society, and Culture

Salatiga, November 3, 2025 — The Centre for Research and Community Service (LP2M) of UIN Salatiga successfully hosted the 2025 Annual International Interdisciplinary Conference and Research Expo (AIICARE), featuring 196 research projects conducted in 2023. The event highlighted the university’s commitment to ensuring that academic research contributes directly to community development and real-world sustainability efforts.

The two-day conference, held at Laras Asri Hotel, Salatiga, carried the theme “Approaches to Sustainability: Bridging Science, Society, and Culture.” It brought together scholars and experts from around the world, including keynote speakers Prof. Zakiyuddin (UIN Salatiga), Prof. Nasr Muhammad Arif (Cairo University, Egypt), Sheikh Abdul Karim Harelimana (Ambassador of Rwanda), Prof. Maila Dinia Rahiem (UIN Jakarta), and Prof. Jumanto (Udinus Semarang).

Opening the event, Salatiga Mayor Dr. Robby Hermawan, Sp.OG. emphasized that academic collaboration strengthens Salatiga’s reputation as a tolerant and innovative city open to research and global partnerships.

The conference proceedings will be peer-reviewed, open access, and published by Taylor & Francis, with proposed Scopus indexing. AIICARE 2025 reaffirms UIN Salatiga’s vision of uniting knowledge for social impact and sustainable global development.

Daftar Jurnal Sinta 2 Bidang ELT dan Linguistik & APC

 Berikut adalah daftar jurnal terindeks Sinta 2 di bidang English Language Teaching (ELT) dan linguistik beserta informasi biaya publikasi (APC)-nya:

Daftar Jurnal Sinta 2 Bidang ELT dan Linguistik

  • Indonesian Journal of English Education (IJEE) – UIN Syarif Hidayatullah

  • Register Journal – UIN Salatiga

  • Englisia: Journal of Language, Education, and Humanities – UIN Ar-Raniry

  • ELT Echo: The Journal of English Language Teaching in Foreign Language Context – IAIN Syekh Nurjati Cirebon

  • Ranah: Jurnal Kajian Bahasa

  • Jurnal Pendidikan Indonesia

Biaya Publikasi (APC)

  • Kisaran biaya publikasi untuk jurnal Sinta 2 secara umum adalah antara Rp 1.000.000 sampai Rp 3.000.000 per artikel.