DA VS CDA, analisis wacana vs AWK

 Discourse analysis and critical discourse analysis (CDA) are related but distinct methodologies in the study of language and communication. Here are the key differences:

UNDERSTANDING CDA IN SHORT/IN SUMMARY:https://docs.google.com/presentation/d/1h82FkR-DSoQ6Y_4w5ihmLqBgFe-_5YKB/edit#slide=id.p1

*1. Focus*

   - *Discourse Analysis*: This broader category encompasses various methods focused primarily on analyzing linguistic phenomena across different types of communication. It explores how language is structured and used in various contexts without necessarily focusing on power dynamics or ideological implications[1][2].

   - *Critical Discourse Analysis (CDA)*: Specifically designed to examine how language functions within political, social, and cultural contexts to shape ideologies, power structures, and social relations. CDA seeks to unveil the underlying power dynamics and ideological constructs that influence these discourses[1][2].

10 poin penting mengenai penggunaan AI, terutama bagi mahasiswa

 Berdasarkan dokumen *Panduan Penggunaan Generative AI pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi*, berikut adalah 10 poin penting mengenai penggunaan AI, terutama bagi mahasiswa:

1. **Etika dalam Penggunaan**: AI seperti GenAI (Generative AI) harus digunakan secara etis, terutama dalam lingkungan pendidikan tinggi. Hal ini mencakup penghormatan terhadap hak asasi manusia, privasi, dan transparansi【source】.

2. **Integritas Akademik**: Penggunaan AI tidak boleh mengurangi integritas akademik. Mahasiswa harus tetap menghasilkan karya orisinal dan menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti【【source】.

3. **Pembelajaran Personal**: AI dapat membantu dalam personalisasi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kecepatan belajar mahasiswa. Teknologi ini memungkinkan konten yang lebih relevan dan disesuaikan【【source】.

4. **Peluang Inovasi**: GenAI membuka peluang besar dalam inovasi pembelajaran, misalnya dengan mempermudah akses ke sumber pembelajaran, membantu memahami materi yang sulit, atau menghasilkan konten seperti teks, gambar, atau video【【source】.

5. **Risiko Plagiarisme**: Penggunaan AI dapat memunculkan masalah plagiarisme jika mahasiswa menggunakannya untuk menghasilkan teks atau karya tanpa melalui proses belajar yang seharusnya【10†source】.

6. **Kewajiban Menghindari Ketergantungan**: Mahasiswa perlu menggunakan AI dengan bijak agar tidak bergantung pada teknologi tersebut. Penggunaan AI harus didukung dengan keterampilan berpikir kritis【【source】.

7. **Keadilan Akses**: Tidak semua mahasiswa mungkin memiliki akses yang sama ke teknologi AI. Hal ini perlu diperhatikan dalam penggunaan AI agar tidak menimbulkan ketidakadilan dalam pembelajaran【【source】.

8. **Potensi Bias dan Diskriminasi**: AI yang dikembangkan berdasarkan data yang bias dapat menghasilkan output yang bias pula. Hal ini penting untuk dihindari agar tidak terjadi diskriminasi, misalnya dalam hal gender atau ras【【source】.

9. **Lisensi dan Biaya**: Sebagian besar aplikasi AI memiliki model lisensi, termasuk versi gratis dan berbayar. Beberapa menawarkan harga khusus untuk sektor pendidikan, sehingga penting untuk mempertimbangkan aksesibilitas bagi mahasiswa【【source】..

10. **Pengawasan Penggunaan**: Penggunaan AI di perguruan tinggi harus diawasi untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan pemanfaatan teknologi yang bertanggung jawab, baik oleh mahasiswa maupun dosen【【source】.. 

Mahasiswa diizinkan menggunakan AI, tetapi dengan panduan yang jelas untuk menjaga integritas akademik dan menghindari penyalahgunaan.

Salami Slicing in journal publication: ethical or unethical?

 


Salami slicing, in the context of academic integrity, refers to the practice of dividing a single research study into multiple smaller publications. This is typically done to increase the number of publications and citations, which can boost a researcher's profile. However, it can mislead the academic community by presenting fragmented results, complicating the understanding of the research as a whole. When findings that belong to a single study are split across several papers, it risks distorting the scientific literature and creates challenges for reproducibility.

This practice is largely considered unethical because it prioritizes quantity over quality. By focusing on boosting publication numbers, salami slicing can degrade the overall integrity of research and reduce the impact of each individual paper. It can lead to lower-quality publications, often in less reputable journals, which diminishes the researcher’s credibility and hampers the contribution to their field. Although certain situations might justify publishing distinct aspects of a broad study separately, it is essential that each publication addresses a unique hypothesis or methodology to maintain academic rigor.

In some cases, salami slicing is permissible if the segments of the research have substantial individual contributions to different aspects of knowledge. For example, publishing the same patient data from varying disciplinary perspectives or translating professional guidelines for different readerships can be justified. However, authors must be transparent about the overlap and ensure that editors are fully informed. The key distinction is whether the divided research adds distinct value to the literature, with clarity and transparency maintained throughout the publication process.