WHO IS ZATOICHI?

Zatoichi is the famous, fictional, blind masseur and roving gambler who, when innocent lives are threatened, becomes the ruthless swordsman who can cut down a dozen men -- yakuza and samurai alike -- before they know what hit them.


Zatoichi, The Blind Swordsman
He's as famous a film character in Japan as the Indiana Jones character is in the States. He wandered the Japanese countryside in the early 1800s during the waning years of the Tokugawa Shogunate, barely scraping a living by giving massages and gambling. Although saddled with the physical handicap of blindness and the social handicap of living at the bottom of a rigid feudal class structure, Zatoichi manages to gain the upper hand with nearly everyone he meets, including the samurai or warrior class. He achieves this by using his good-natured wit, perceptive understanding of human nature, keen sense of hearing, and the lightning fast draw of his cane sword.

Often humorous and always filled with sword-fighting action, the Zatoichi series of films has succeeded in attracting a worldwide following.

"Any fan of Kurosawa's 'Yojimbo' should snatch these up." --The New York Post.
sumberipun: http://www.momii.com/zatoichi/whois.html#bio

Belajar dari masa kecil Albert Einstein

Para orang tua dan guru yang berbahagia, Siapa yang tidak kenal Albert Einstain...sang jenius fisika penggagas terori relativitas, Mungkin sebagian besar kita semua belum mengetahui seperti apa Einstain kecil, dan seperti apa pada saat ia bersekolah, semoga dengan sedikit mengtahi masa kesilnya kita bisa mendapatkan pelajaran daripadanya.

Einstein seperti juga anak-anak lainnya adalah anak yang pada masa kecilnya biasa-biasa saja bahkan cerderung sebagai anak yang bermasalah dengan sekolah. Einstein adalah anak yang suka membangkang waktu bersekolah dia sering tidak mau mengikuti perintah gurunya malainkan hanya mau mengerjakan apa yang ia sukai yakni yang berhubungan dengan musik, membaca buku-buku sains, dan berlayar.

Einstain kecil tidak mau belajar apa bila ia tidak suka pelajarannya oleh karena itu ia sering bolos pada saat pelajaran bahasa, sastra dan menggambar. Ia membolos untuk melakukan aktivitas yang disukainya tadi. Sehingga pada akhirnya Einstein tidak berhasil lulus SMP, melainkan hanya mendapat keterangan pernah bersekolah SMP dari sekolahnya.

Berbekal surat keterangan tersebut ia nekad berusaha melamar di SMA, sebagian besar sekolah SMA yang didatanginya menolak, namun Einstein dan orang tuanya tidak pernah patah semangat untuk terus mencoba hingga akhirnya ada sekolah SMA yang menerimanya.

Setelah SMA kelakuannya masih sama saja tidak pernah berubah, ia hanya suka pelajaran Matematika dan Fisika saja, jadi Einstain masih sering membolos di pelajaran-pelajaran yang tidak dia sukai, sampai akhirnya ia kembali dinyatakan sebagai anak yang tidak tamat SMA. dan untuk kedua kalinya ia di nyatakan gagal lagi disekolah.

Namun hebatnya orang tua Einstein; tetap mendukung anaknya untuk terus berusaha melanjutkan sekolahnya; bahkan ia ikut membantu dengan berbagai hal agar anaknya bisa terus bersekolah.

Meskipun Einstein tahu ia tidak belum tamat SMA dan tidak punya pernah punya ijazah; ia tetap berani melamar ke perguruan tinggi; Nekad benar ya.... tapi kalau bukan nekad dan keras kepala bukan Einstein namanya.

Tahun 1895 ia melamar di Politeknik Federal, di Zurich Swiss tapi sayang ia gagal di ujian masuk dan menurut sekolah tsb, usianya pun masih terlalu muda. Lalu dia diminta menamatkan SMAnya terlebih dahulu, baru setelah itu ia melamar lagi dan akhirnya di terima sebagai mahasiswa di Politeknik Federal, Swiss.

Tahukah Einstain pada waktu ia ditanya Izajahnya, ia dengan tegas mengatakan bahwa saya tidak pernah punya Izajah tapi kemampuan saya boleh di uji, ya terutama di bidang Matematika dan Fisika. Saat itu kedua pelajaran itu memang sangat di perhitungkan

Kemudian setelah lulus Einstein kembali ke negara asalnya Jerman, dan setelah kembali ke sana ia banyak mengkritik sistem pendidikan di Jerman yang menurutnya banyak menghambat potensi unggul yang dimiliki oleh seorang anak. Ia juga banyak berseberangan dengan Otoritas Akademik di Jerman. Sehingga pada akhirnya dia memilih untuk tidak mau menjadi warga negara Jerman. Peristiwa ini terjadi pada saat Einstain berusia 20tahun.

Setelah itu Enstain mencari negara netral yang memberikan kebebasan warga negaranya untuk berekspresi, akhirnya pilihannya jatuh pada Negara Swiss. Akan tetapi karena pada perang dunia kedua dia merasa terdesak oleh Nazi di Swiss, dia juga mengajukan kewarganegaraan AS. Hingga akhir hayatnya dia memiliki 2 kewarganegaraan yakni Swiss dan AS.

Kalo kita perhatikan ciri-ciri Eistein ini mirip sekali dengan anak-anak yang cenderung dominan otak kanannya. Pertama Dia tahu apa yang dia mau dan dia juga tahu apa yang dia tidak mau. Yang kedua dia hanya mau mengerjakan apa yang dia mau, dan jika dipaksa dia cenderung akan melawan atau menghindar. Dan yang ketiga dia sangat fokus untuk bisa mencapai apa yang dia mau hingga akhirnya ia menjadi Ilmuwan besar dunia di abad 20.

Apa kira-kira Hikmah dari kisah ini.....mungkin beberap diantarnya adalah;

Yang pertama; Penting bagi kita semua orang tua dan guru untuk belajar memahami potensi unggul yang dimiliki oleh masing-masing anak. Yang kedua adalah; Kita tidak bisa lagi memaksaakan anak untuk bisa disemua bidang matapelajaran, dan melupakan kemampuan unggulnya. Dan yang ketiga adalah; Anak yang gagal di ujian bukan berarti dia gagal di kehidupan. karena bisa jadi justru soal-soal ujiannyalah yang keliru untuk menilai potensi unggul anak-anak kita.

Silahkan anda temukan sendiri apa bila masih ada hikmah lain dibalik kisah ini.
sumber: ayahkita.blogspot.com

Pelajaran penting dari buku Quantum Ikhlas

Keikhlasan sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari hari. Tanpa keikhlasan, sebuah pekerjaan tidak akan terasa besar walaupun hasilnya besar. Tanpa keihklasan, semua aktifitas akan terasa menjemukan, membosankan, dan bahkan membuahkan keterpaksaan. Seseorang yang ikhlas akan nampak dari bagaimana dia menjalani kehidupan ini. Hati yang riang, semangat yang berkobar, senyum yang ada, mungkin salah satu indikator menandakan keihklasan seseorang.

Memang susah untuk memupuk keikhlasan. bagaimana, kapan, dimana, keiklhlasan itu bisa terjadi. Berikut ada beberapa cara agar keikhlasan tetap ada dalam diri seseorang:

Pertama yaitu niat yang benar.

niat merupakan awal dari keikhlasan. karena niatlah seseorang bisa mencapai apa yang diinginkanya. Niat menentukan apa yang akan dia raih. Seperti kata pepatah, apa yang kau dapat seperti apa yang kau pikirkan. Dengan merangkai niat yang baik, maka hasil yang didapat akan baik juga. Dengan kata lain niat berbanding lurus dengan hasil

Kedua, doa

Dalam sebuah buku "quantum ikhlas" ada 3 hal yang harus kita lakukan ketika berdoa yaitu:

a. Direction yaitu meminta dengan niat yang jelas.

Ungkapkan saja apa yang kita inginkan karena Allah maha pemurah terhadap hamba hambanya yang senantiasa mengharapkan pertolongan. Bukankah Allah SWT maha tahu, kenapa kita harus sejelas mungkin berdoanya? disitulah terletak kesungguhan kita terhadap apa yang kita doakan. Kita akan dinilai terhadap kesungguhan kita. Bukankah suatu kaum tidak akan berubah kecuali mereka bersungguh sungguh.

b. Obidience yaitu menyakinkan hati bahwa doa kan terkabul

Allah sesuai dengan persangkaan hambanya.Maka dari itulah kita harus menyakinkan diri bahwa doa kita akan terkabul. Persoalannya sekarang adalah bagaimana kita menata kesabaran kita terhadap kapan doa itu dikabulkan NYa

c. Acceptance yaitu menerima perasaan terkabulnya doa

Sama dengan diatas bahwa kita harus senantiasa "berperasaan positif'" terhadap doa kita.

Ketiga adalah syukur

Memang kadang kala kita lupa bersyukur atas nikmat yang telah kita terima. Kita senantiasa selalu memiliki perasaan tidak puas tehadap apa yang kita miliki. Kata kuncinya adalah selama kita hidup didunia ini akan ada orang yang akan selalu lebih (ganteng, cantik, kaya, pintar....) dari kita, namun ingatlah bahwa akan ada orang yang selalu lebih (buruk, jelek, miskin, bodoh ....) dari diri kita.

Maka beryukurlah atas apa yang ada sehingga kita akan mampu merasakan keihlasan dalam hidup ini.

Learning is an emotional experience and the basic character of learning is individual

Ada 2 hal yang berhasil kusimpulkan selama ngajar di Fakultas Tarbiyah Bahasa Inggris ini. 

1. Learning is an emotional experience alias belajar itu merupakan pengalaman emosional. jika kita emang seneng dengan subjek yang kita pelajari maka kita kan terdorong sibuk mempelajarinya. tetapi kalo udah ngga suka dengan satu subjek/mata pelajaran/mata kuliah maka kita ga bakalan sungguh-sungguh mempelajarinya. misalnya kalo udah ga suka dengan matematika dan bahasa inggris ya selamanya ga bakalan bisa kalo tidak mencoba reframing our mind!. 

makanya metode mengajar dan fasilitas belajar secanggih apapun ga bakalan jalan kalo siswa atau mahasiswanya ga ada semangat untuk belajar. untuk itulah guru dan dosen punya tanggungjawab besar gimana caranya agar siswa atau mahasiswa ada semangat belajar. aku jadi inget kata albert enstein: "saya tidak pernah mengajar tetapi saya hanya mensuasanakan siswa saya agar mau belajar". 


2. the basic character of learning is individual alias sifat dasar pendidikan bersifat individual bukan massal. hanya mata kuliah tertentu yang bisa dibuat ceramah umum di kelas massal atau kelas besar. untuk pelajaran yang butuh skill seperti speaking atau writing perlu kelas yang lebih kecil .biar lebih fokus perhatian pembelajarannya. 

Another story of my cute daughter

Agak repot kemaren bawa anak saya Dira ke kampus pas umminya ikut darma wanita. Repotnya dia itu paling ga seneng naik bis. bisa dilihat wajahnya yang kelihatan ga suka. selama perjalanan dua jam ada saja tingkahnya. minta dipangku. pengen tidur selonjoran seperti tidur di kasur. 
Mungkin kami perlu beli mobil ya biar bisa dia bisa enjoy on the journey...??
hal ini terjadi mungkin karena dia biasanya kalo ke kota salatiga ini dari rumah dari solo naik motor. biasanya dia minta dipangku dan tidur sepanjang perjalanan. seperti dilelo-lelo atau ditimang-timang jadi cepet ngantuknya.. setelah nyampe di kampus alhamdulillah udah ceria lagi.

Akibat Pergaulan bebas...

Di rumahku ada penghuni yang paling sulit dididik dan diatur. apa-apa semau gue. sudah begitu pergaulannya bebas lagi. maksudnya bebas disini kalo sama lawan jenis ga selektif. kemaren ada kasus hamil sama tetangga. penasaran sama penghuni rumah saya? namanya si Manis. kalo mau lihat foto cantiknya Klik sini, trus ini dia anak hasil pergaulan bebas si Manis : Klik sini : 3d smiley

Kelebihan & Kekurangan Homeschooling


Dipandang dari sisi positif dan negatifnya, Homeschooling memiliki beberapa pertimbangan penting. Dilihat dari sisi positifnya yang pertama homeschooling mengakomodasi potensi kecerdasan anak secara maksimal karena setiap anak memiliki keberagaman dan kekhasan minat, bakat, dan ketrampilan yang berbeda-beda. Potensi ini akan bisa dikembangkan secara maksimal bila keluarga memfasilitasi suasana belajar yang mendukung di rumahnya sehingga anak didik benar-benar merasa at home dalam proses pembelajarannya. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar pendidikan yang bersifat informal dan sangat dipengaruhi faktor emosional. Dengan metode homeschooling ini anak didik tidak lagi dibatas oleh empat tembok kelas yang sesak dan mereka bisa memilih tema pembelajaran yang diinginkan mereka.

Yang kedua, metode ini mampu menghindari pengaruh lingkungan negati yang mungkin akan di hadapi oleh anak di sekolah umum. Pergaulan bebas, tawuran, rokok dan obat-obat terlarang menjadi momok yang terus menghantui para orangtua, sementara mereka tak dapat mengawasi putra-putrinya sepanjang waktu.

Dilihat dari sisi negatifnya, yang pertama, dikhawatirkan siswa yang mengikuti metode pendidikan ini akan teralienasi dari lingkungan sosialnya sehingga potensi kecerdasan sosialnya tidak muncul. Kekhawatiran ini disanggah oleh Dhanang Sasongko Sekjen Asah Pena (Asosiasi Sekolah-Rumah dan Pendidikan Alternatif) yang mengatakan bahwa adanya sekolah-rumah bukan berarti steril dari masyakat. Untuk mengatasi problem ini sering diadakan kegitan di luar seperti ke pasar dan panti-panti. Metode Sekolah-Rumah bukan berarti belajarnya di rumah terus tetapi bisa juga di luar rumah yang penting dalam pembelajan anak didik merasa at home atau krasan dan senang dengan tema pembelajaran yang diikutinya. Sehingga pembelajaran bisa berjalan alami dan mandiri.

Yang kedua, Persoalan legalitas. Segudang pertanyaan muncul tentang bagaimana sikap dan pengakuan pemerintah tentang sekolah-rumah ini? Secara prinsip tidak ada masalah. Karena, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 27 ayat (1) dikatakan: ”Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.” Lalu pada ayat (2) dikatakan bahwa: ”Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dlam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah perserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.” Jadi secara hukum kegitan persekolahan di rumah di lindungi oleh undang-undang.

Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas Ella Yulaelawati Rumindasari menegaskan, UU SisDikNas mengakui sekolah-rumah sebagai bagian dari akses pendidikan. Depdiknas mendefinisikan sekolah-rumah sebagai proses layanan pendidikan yang secara sadar,teratur, dan terarah dilakukan oleh orangtua/keluarga di rumah atau tempat lain dimana proses belajar dapat berlangsung kondusif. Meskipun model persekolahan di rumah ini dijalankan secara informal orang tua yang menyelenggarakan homeschooling ini diwajibkan melaporkan kepada dinas pendidikan kabupaten atau kota setempat. Anak didik yang mengikuti homeschooling ini juga dapat mengikuti ujian kesetaraan paket A (setara dengan SD), paket B(setara dengan SMP) dan paket C (setara dengan SMU).

Maraknya model pendidikan alternatif diantaranya homeschooling ini perlu ditimbang sebagai partisipasi masyarakat dalam perluasan akses pendidikan dan perbaikan metode pembelajaran formal-konvensional yang cenderung bersifat kaku dan membosankan. Rasanya tidak perlu dipertentangkan mana yang lebih baik pendidikan formal atau informal.

Sementara ini ini sayangnya pemerintah hanya mendukung sebatas legalitas formal melalui UU SisDikNas yang menggolongkannya sebagai bagian dari pendidikan informal (keluarga). Perlu adanya dukungan yang lebih luas dan mendalam agar tujuan pendidikan yang mulia dan ideal yaitu membentuk anak-anak didik menjadi insan yang bertaqwa, mempunyai akhlak yang mulia segera bisa diwujudkan di negeri kita yang tercinta ini.

Do you have a best friend?

kucinglucu
Nice Friendship Quote : "A true friend is someone who thinks that you are a good egg even though he knows that you are slightly cracked." -- Bernard Meltzer.

A friend is one who knows us, but loves us anyway. -- Fr. Jerome Cummings

Remember, the greatest gift is not found in a store nor under a tree, but in the hearts of true friends. -- Cindy Lew

Who finds a faithful friend, finds a treasure. -- Jewish Saying

"Your friend is the man who knows all about you, and still likes you."
-- Elbert Hubbard

"Who finds a faithful friend, finds a treasure."
-- Jewish saying

What is a friend? A single soul dwelling in two bodies. -- Aristotle

Don't walk in front of me, I may not follow.
Don't walk behind me, I may not lead.
Just walk beside me and be my friend.-- Albert Camus

"The only way to have a friend is to be one."
-- Ralph Waldo Emerson

The best way to destroy an enemy is to make him a friend.-- Abraham Lincoln


Hold a true friend with both your hands. -- Nigerian Proverb

"A faithful friend is the medicine of life."
-- Apocrypha

Some people come into our lives and quickly go. Some stay for awhile and leave footprints on our hearts. And we are never, ever the same.-- Anonymous



Friends are like melons; shall I tell you why? To find one good you must one hundred try. -- Claude Mermet

"Friendship multiplies the good of life and divides the evil."
-- Baltasar Gracian (1647)

"Friendship needs no words..."
-- Dag Hammarskjold.

"Friends are the sunshine of life."
-- John Hay (1871)

"The best mirror is an old friend."
--George Herbert

Who is leonard Bloomfield?

Leonard Bloomfield (April 1, 1887 – April 18, 1949) was an American linguist who led the development of structural linguistics in the United States during the 1930s and the 1940s. His influential textbook Language presented a comprehensive description of American structural linguistics.[1] He made significant contributions to Indo-European historical linguistics, the description of Austronesian languages, and description of languages of the Algonquian family.

Bloomfield's approach to linguistics was characterized by its emphasis on the scientific basis of linguistics, adherence to behaviorism especially in his later work, and emphasis on formal procedures for the analysis of language data. The influence of Bloomfieldian structural linguistics declined in the late 1950s and 1960s as the theory of Generative Grammar developed by Noam Chomsky came to predominate.
Indo-European linguistics

Bloomfield's earliest work was in historical Germanic studies, beginning with his dissertation, and continuing with a number of papers on Indo-European and Germanic phonology and morphology.[20][21] His post-doctoral studies in Germany further strengthened his expertise in the Neogrammarian tradition, which still dominated Indo-European historical studies.[22] Bloomfield throughout his career, but particularly during his early career, emphasized the Neogrammarian principle of regular sound change as a foundational concept in historical linguistics.[23][24]

Although Bloomfield's original work in Indo-European beyond his dissertation was limited to an article on palatal consonants in Sanskrit,[25] and one article on the Sanskrit grammatical tradition associated with Pāṇini,[26] in addition to a number of book reviews, he made extensive use of Indo-European materials to explain historical and comparative principles in both of his textbooks, An introduction to language (1914), and his seminal Language (1933).[27] In his textbooks he selected Indo-European examples that supported the key Neogrammarian hypothesis of the regularity of sound change, and emphasized a sequence of steps essential to success in comparative work: (a) appropriate data in the form of texts which must be studied intensively and analysed; (b) application of the comparative method; (c) reconstruction of proto-forms.[28] He further emphasized the importance of dialect studies where appropriate, and noted the significance of sociological factors such as prestige, and the impact of meaning.[29] In addition to regular change, Bloomfield also allowed for borrowing and analogy as forms of linguistic change.[30]

It is argued that Bloomfield's Indo-European work had two broad implications:(a) "He stated clearly the theoretical bases for Indo-European linguistics..."; (b) "...he established the study of Indo-European languages firmly within general linguistics...."
more articles: http://en.wikipedia.org/wiki/Leonard_Bloomfield

Audio-Lingual Method

The Audio-Lingual Method, or the Army Method or also the New Key[1], is a style of teaching used in teaching foreign languages. It is based on behaviorist theory, which professes that certain traits of living things, and in this case humans, could be trained through a system of reinforcement—correct use of a trait would receive positive feedback while incorrect use of that trait would receive negative feedback.

This approach to language learning was similar to another, earlier method called the Direct method. Like the Direct Method, the Audio-Lingual Method advised that students be taught a language directly, without using the students' native language to explain new words or grammar in the target language. However, unlike the Direct Method, the Audiolingual Method didn’t focus on teaching vocabulary. Rather, the teacher drilled students in the use of grammar.

Applied to language instruction, and often within the context of the language lab, this means that the instructor would present the correct model of a sentence and the students would have to repeat it. The teacher would then continue by presenting new words for the students to sample in the same structure. In audio-lingualism, there is no explicit grammar instruction—everything is simply memorized in form. The idea is for the students to practice the particular construct until they can use it spontaneously. In this manner, the lessons are built on static drills in which the students have little or no control on their own output; the teacher is expecting a particular response and not providing that will result in a student receiving negative feedback. This type of activity, for the foundation of language learning, is in direct opposition with communicative language teaching.

Charles Fries, the director of the English Language Institute at the University of Michigan, the first of its kind in the United States, believed that learning structure, or grammar was the starting point for the student. In other words, it was the students’ job to orally recite the basic sentence patterns and grammatical structures. The students were only given “enough vocabulary to make such drills possible.” (Richards, J.C. et-al. 1986). Fries later included principles for behavioural psychology, as developed by B.F. Skinner, into this method.

Oral Drills

Drills and pattern practice are typical of the Audiolingual method. (Richards, J.C. et-al. 1986) These include
Repetition : where the student repeats an utterance as soon as he hears it
Inflection : Where one word in a sentence appears in another form when repeated
Replacement : Where one word is replaced by another
Restatement : The student re-phrases an utterance

Examples

Inflection : Teacher : I ate the sandwich. Student : I ate the sandwiches.
Replacement : Teacher : He bought the car for half-price. Student : He bought it for half-price.
Restatement : Teacher : Tell me not to shave so often. Student : Don't shave so often!


The following example illustrates how more than one sort of drill can be incorporated into one practice session :
“Teacher: There's a cup on the table ... repeat
Students: There's a cup on the table
Teacher: Spoon
Students: There's a spoon on the table
Teacher: Book
Students: There's a book on the table
Teacher: On the chair
Students: There's a book on the chair
etc.”
sumberipun niki nggih: http://en.wikipedia.org/wiki/Audio-Lingual_Method

SOSIALISASI TINGKAT TUTUR KRAMA

Pengkajian tentang penggunaan bahasa tidaklah cukup dilihat dari dalam bahasa itu sendiri tetapi harus dikaji juga dari luar ilmu linguistik. Dengan kata lain pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik saja tapi juga ditentukan oleh faktor-faktor sosial (Suwito:1985:3). Faktor-faktor situasional juga berpengaruh, yaitu siapa yang berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dimana. Seperti yang dikemukakan oleh Fishman (1972:15) yaitu who speaks, what language, to whom and when.
Namun demikian pemakaian sebuah bahasa tertentu sebagai contoh adalah penggunaan bahasa Jawa dalam praktik kesehariaannya kadangkala belum sesuai dengan kaidah-kaidah pemakaian bahasa yang benar. Sebagai contohnya ialah pengalaman nyata ketika ibunda saya berjumpa dengan mantan siswanya saat Lebaran beberapa tahun yang lalu. Perlu diketahui bahwa ibunda saya adalah seorang guru senior di sebuah SMP Negeri di Kota Jepara. Tiap Lebaran ada saja para siswa dan alumni yang datang untuk silaturahmi. Salah satu peristiwa menarik adalah datangnya salah seorang mantan siswa yang sekarang sudah dewasa, berkeluarga dan jadi pengusaha kaya. Mungkin saja maunya mantan siswa ini bernoltasgia, bercerita tentang kesuksesan-kesuksesan yang dicapai selama ini dan juga berterimakasih atas jasa gurunya di masa lampau. Namun alangkah tragisnya ketika dia bercerita pada ibunda saya dari awal sampai akhir dengan memakai bahasa Jawa tingkat tutur Ngoko. Misalnya ia berkata,” Piye,Bu kabare? Sehat yo? Piye kabare guru-guru liyane? Podo Sehat kabeh yo?”. Hal ini tentu saja membut ibu saya sama sekali tidak respek dan tidak enak hati. Sampai-sampai ibu saya berkata, ”Kamu ini gimana tho,Le? Karo wongtuwa koq ora iso boso? Jan kebangetan kowe iki…Opa ora diajari wongtuwamu??..”

Kisah nyata di atas merupakan satu gambaran nyata tentang betapa tingkat tutur krama telah mulai luntur pada generasi muda kita. Hal ini tidak hanya terjadi di kota Jepara yang notabene daerah pantai utara yang jauh dari kraton bahkan menurut penelitian Dr.Maryono Dwiraharjo dari Fakultas Sastra UNS di Solo dan sekitarnya penggunaan tingkat tutur krama di kalangan generasi muda telah mulai luntur dan terabaikan. Hal ini termasuk fenomena yang memprihatinkan karena Solo adalah salah satu dari dua episentrum budaya dan bahasa Jawa.
Fenomena semacam ini layak untuk dijadikan bahan kontemplasi: Kenapa bisa terjadi demikian? Siapa yang salah? Bagaimana solusinya?. Saya pribadi berpendapat tidaklah tepat kita berprinsip ala pepatah buruk muka cermin dibelah. Mari koreksi diri ; Jangan mudah menyalahkan orang lain. Perlu ada koreksi kedalam terutama pada peran para orangtua di rumah dan pendidik di sekolah di Solo dan sekitarnya. Yang perlu dicermati adalah seberapa penguasaan tingkat tutur krama ini telah diajarkan dan disosialisasikan kepada anak didiknya di tingkat keluarga dan sekolah.
Meski ada juga yang tidak atau mungkin kurang sependapat—terutama orang-orang yang perpandangan liberal dan egalitarian, saya tetap meyakini bahwa apabila tingkat tutur krama ini diajarkan sejak dini pada anak didik maka unggah-ungguh atau kesopanan yang merupakan bagian dari budi perkerti mulia akan bisa diinternalisir secara mendalam di hati sanubari anak didik kita. Setidaknya generasi muda keturunan orang Jawa mau berpikir dua kali atau tiga kali jika mau matur kepada orang yang lebih dewasa.
Salah satu solusi yang bisa dibuat adalah perlunya membangkitkan kesadaran para orangtua dan pendidik untuk membiasakan kepada anak didiknya dengan menggunakan tingkat tutur krama saat berada di rumah atau sekolah. Cara yang efektif adalah menyelipkan kalimat-kalimat krama kalau perlu Krama Inggil dalam berdialog, saat mengajar atau berbicara kepada anak asuhnya. Salah satu contoh menarik adalah kalimat-kalimat seorang guru kepada siswanya yang diungkapkan oleh Soepomo Poedjasoedarmo dalam bukunya berjudul “Tingkat Tutur Bahasa Jawa” berikut ini.
Guru: “Bocah-bocah, sak iki Ibu Guru kagungan cangkriman. Cangkrimane gampang banget. Sego sekepel dirubung tinggi iku apa? Hayo sapa kang ngerti? Sinten ingkang priksa? Anton, sampun priksa?”

“Anak-anak, sekarang Ibu Guru mempunyai teka-teki. Teka-teki ini mudah sekali. Nasi sekepal dikerumuni kutu busuk itu apa?Ayo siapa tahu? Siapa yang tahu? Anton, tahu?” (1979:54).

Sekilas mungkin terasa aneh sekali jika kita mendengar Ibu guru berkata kepada murid-muridnya “Sinten ingkang priksa” kemudian bertanya kepada si Anton “Anton, sampun priksa”. Kenapa Ibu guru itu harus meninggikan kedudukan muridnya dengan menggunakan kalimat Krama? Bukankah hal ini terbalik; seharusnya siswa yang menggunakan tingkat tutur krama pada gurunya ?. Hal ini jika kita amati dalam kehidupan masyarakat Jawa secara umum bukanlah kejadian yang aneh. Para ibu di rumah dan guru di tingkat taman kanak-kanak dan kelas terendah di Sekolah Dasar sering menyelipkan kalimat-kalimat Krama dalam berbicara keapda anak asuh mereka sebagai salah satu cara yang efektif untuk mendidik anak asuh mereka. Dengan kalimat-kalimat Krama yang secara langsung ditujukan kepada anak asuh atau anak didik diharapkan bahwa si anak akan menjawab dengan tingkat tutur Krama pula. Jika seorang anak tidak pernah dibiasakan berkomunikasi dengan tingkat tutur yang halus dan sopan saya kira sampai kapanpun dia tidak akan bisa menggunakan tingkat tutur krama dengan baik dan benar. Kenapa demikian?. Seorang anak kecil akan menjawab dalam tingkat tutur Ngoko bila orang yang lebih dewasa bertanya kepadanya dalam Ngoko. Oleh karena itu mari kita sosialisasikan tingkat tutur krama ini dimulai dari kita sendiri selaku orangtua atau pendidik membiasakan tingkat tutur krama kepada anak-anak kita. Bagaimana sikap Anda?. Mau?.



BIBLIOGRAFI:
Ibrahim, Abd. Syukur. 1995. Sosiolinguistik; Sajian Tujuan, Pendekatan, dan Problem-problemnya. Surabaya. Penerbit Usaha Nasional.
Fishman, Joshua. 1972. The Sociology of Language. Massachusetts. New House-Ramley Publishers.
Poedjosudarmo, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta. Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suwito, 1985. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori & Problem. Surakarta. Henary Press.

Nuansa rasa leksikon bahasa Jawa

Setiap bahasa tentunya memiliki keunikan dan kekhasan yang dibanggakan oleh setiap bangsa yang menjadi pemilik dan penggunanya. Masing-masing bahasa memiliki kekhasan yang terkadang sulit ditemukan pola atau sistem yang sama persis dalam bahasa-bahasa lain. Misalnya orang Inggris bangga dengan bahasanya yang memiliki 16 pola tenses atau kala yang cukup rumit. Sampai-sampai ada bentuk kala dengan pola past future perfect continous yang jika diartikan “telah akan sedang berlangsung”. Bagi kita yang sudah sangat terbiasa dengan pola kala Bahasa Indonesia yang relatif sederhana tentunya sangat aneh memahami bahwa ada kombinasi suatu pekerjaan yang “telah terjadi” dan juga “sedang berlangsung” di masa yang akan datang. Hal ini konon merupakan refleksi bahwa mereka sangat menghargai waktu. Mereka tidak kenal rubber time atau jam karet. Contoh yang lain adalah orang Hindustan yang bangga dengan bahasa Urdu. Bahasa ini punya ciri pemerlain yang unik pada rangkaian kalimat-kalimat yang terdengar begitu puitis karena kebanyakan kalimatnya diakhiri dengan kata “hai”. Misalnya kalimat “Apka kia nam hai? (Siapakah nama anda?)”, “Pakistani ham char sati hai (Kami berempat dari Pakistan)”, “Kia bolte hai? (Apa yang dia katakan?)” dan yang populer disini film dan lagu berjudul “Kutch-kutch hota hai” (Aku merasakan sesuatu terjadi padaku ketika engkau mendekat kepadaku). Kata “hai” ini adalah to be atau kata kerja bantu yang selalu diletakkan di akhir kalimat.
Nah, jika orang Inggris dan orang India-Pakistan punya kebanggaan yang khas dengan bahasa mereka bagaimana dengan orang Jawa? Apakah orang Jawa terutama generasi mudanya benar-benar bangga punya bahasa Jawa? Jika saja bahasa Jawa sudah dianggap kuno dan usang tentunya situs mesin pencari terbesar sedunia Google.com tentunya tak mau menyediakan menu Google Boso Jowo sebagai salah satu peranti bahasa pilihan. Lalu jika memang benar demikian kemudian aspek apa dari bahasa Jawa yang bisa dibanggakan?.
Untuk menjawab hal ini akan disampaikan satu fenomena yang sangat menonjol dari bahasa Jawa yang semoga membuat kita sadar sepenuhnya akan kelebihan bahasa Jawa. Fenomena kebahasaan ini rasanya sulit ditemui padanannya jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain yang kita kenal.
Menurut Profesor E.M Uhlenbeck, pakar bahasa Jawa dari Belanda (Aneh bin ajaib ya, pakar bahasa Jawa kok malah orang bule?) bahasa jawa dipenuhi oleh leksikon emotif ekspresif. Contohnya leksikon kemresek, kemrosok, kemrusuk, dan kemrisik yang semuanya menyatakan bunyi berkerisik benda-benda seperti daun-daun, air terjun dan lain sebagainya dengan tingkat kekerasan dan kejelasan yang berbeda. Contoh lain adalah leksikon krik-krik yang mengacu pada suara hewan jangkrik dan leksikon cek-cek mengacu pada suara hewan cecak. Secara semantik contoh-contoh di atas mengacu pada kekhasan masyarakat agraris tradisional yang dekat dengan alam secara morfologis (Uhlenbeck:163).
Leksikon emotif ekspresif disebut juga leksikon periferal atau “pinggiran” atau leksikon yang bersifat non-arbitrer. Kenapa disebut non-arbitrer? Karena ada kesamaan spesifik antara aspek formal dan aspek semantik. Misalnya kata pethingil atau methingil mengacu pada munculnya “benda” kecil seperti tikus atau jangkrik. Kata Prof.D.Edi Subroto, guru saya di pascasarjana UNS, secara fonestemik bunyi “i” ada nuansa benda-benda yang kecil, ringan, lembut dan halus. Apabila ada fonem vokal “i” berubah menjadi “u” kemudian menjadi “o” menandakan entitas itu berangsur-angsur menjadi semakin besar, berat dan kasar. Contohnya adalah gradasi yang terjadi pada kata pethingil menjadi pethungil dan pethongol. Atau methingil menjadi methungul dan akhirnya menjadi methongol. Gradasi semacam ini bisa dijelaskan secara fonetik karena ruang resonansinya kecil atau sempit. Contoh lain adalah gradasi kata-kata itir-itir menjadi utur-utur kemudian menjadi otor-otor.
Contoh-contoh itu jelas menunjukkan bahwa bahasa Jawa sangat kaya akan nuansa rasa. Untuk lebih memahami kekayaan unsur emotif ekspresif dalam leksikon di atas cobalah menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau bahasa lain apa pun yang Anda ketahui. Rasanya sangat sulit menemukan padanan terjemahan kata yang sama persis nuansa rasanya.
Contoh-contoh gradasi di atas meski sepintas kelihatan sederhana sudah pernah dipresentasikan di International Conference of Austronesian Linguistics di Pulau Bali di tahun 1987. Contoh-contoh ini ternyata pernah menjadi bahan kajian seminar yang pada saat itu mendapatkan tanggapan meriah para pakar linguistik se Asia-Pasifik.

siapa noam chomsky?

Avram Noam Chomsky (lahir di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat, 7 Desember 1928; umur 80 tahun) adalah seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts. Salah satu reputasi Chomsky di bidang linguistik terpahat lewat teorinya tentang tata bahasa generatif.

Kepakarannya di bidang linguistik ini mengantarkannya merambah ke studi politik. Chomsky telah menulis lebih dari 30 buku politik, dengan beragam tema. Dan sejak 1965 hingga kini, dia menjelma menjadi salah satu tokoh intelektual yang paling kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Buku-buku bertema politiknya kerap dianggap terlalu radikal untuk diresensi atau ditampilkan media AS.

Selama lima dasawarsa ini, Chomsky telah menjalin kontrak secara langsung dengan lebih dari 60 penerbit di seluruh dunia dan sudah menulis lebih dari 30 buku bertema politik. Dan baris-baris kalimat dalam tulisannya muncul di lebih dari 100 buku, mulai dari karya ilmiah tentang linguistik, politik, hingga kumpulan kuliah, wawancara dan esai.

Tidak banyak barangkali sosok penulis best seller yang bersikap seperti seperti Noam Chomsky. Bagi dia, menulis buku adalah perpanjangan dari aktivitas politiknya. Bila sebagian besar penulis menghabiskan energinya mencemaskan tentang promosi dan penjualan buku mereka, tidaklah demikian dengan Chomsky. Kritikus yang aktif mengomentari kebijakan politik luar negeri AS ini, selalu menolak melakukan tur standar untuk mempromosikan bukunya. Chomsky bahkan tidak begitu peduli dengan urusan uang muka royalti, pasal-pasal dalam kontrak, dan hak-hak yang diberikan penerbit.
more articles: noam chomsky in wikipedia, pendekar linguistik amerika !

bedanya curriculum,approach,method and technique

What is Curriculum?
In formal education, a curriculum (plural curricula) is the set of courses, and their content, offered at a school or university. As an idea, curriculum stems from the Latin word for race course, referring to the course of deeds and experiences through which children grow and mature in becoming adults.
sumberipun: Curriculum-wikipedia
What's approach?
In brief, a language learning approach refers to theories about the nature of language and language learning that serve as the source of practices and principles in language teaching. A language learning method is an overall plan for presenting language material, based on the selected approach. A language learning technique is a particular strategem or procedure used to accomplish a particular objective.
An approach is a set of theories and principles,a method is the way you apply these theories and priciples ,and a technique is the tools and the tasks you use to make your method succeed.
sumberipun: http://www.sil.org/LinguaLinks/LanguageLearning

other definition:

An approach is a set of assumptions ( Why ) , a method is how to carry out these assumptions and theories ( how ) , techniques are steps to achieve certain goals.

How is English for Specific Purposes (ESP) different from English as a Second Language (ESL), also known as general English?

How is English for Specific Purposes (ESP) different from English as a Second Language (ESL), also known as general English?

The most important difference lies in the learners and their purposes for learning English. ESP students are usually adults who already have some acquaintance with English and are learning the language in order to communicate a set of professional skills and to perform particular job-related functions. An ESP program is therefore built on an assessment of purposes and needs and the functions for which English is required .

ESP concentrates more on language in context than on teaching grammar and language structures. It covers subjects varying from accounting or computer science to tourism and business management. The ESP focal point is that English is not taught as a subject separated from the students' real world (or wishes); instead, it is integrated into a subject matter area important to the learners.

However, ESL and ESP diverge not only in the nature of the learner, but also in the aim of instruction. In fact, as a general rule, while in ESL all four language skills; listening, reading, speaking, and writing, are stressed equally, in ESP it is a needs analysis that determines which language skills are most needed by the students, and the syllabus is designed accordingly. An ESP program, might, for example, emphasize the development of reading skills in students who are preparing for graduate work in business administration; or it might promote the development of spoken skills in students who are studying English in order to become tourist guides.

As a matter of fact, ESP combines subject matter and English language teaching. Such a combination is highly motivating because students are able to apply what they learn in their English classes to their main field of study, whether it be accounting, business management, economics, computer science or tourism. Being able to use the vocabulary and structures that they learn in a meaningful context reinforces what is taught and increases their motivation.

The students' abilities in their subject-matter fields, in turn, improve their ability to acquire English. Subject-matter knowledge gives them the context they need to understand the English of the classroom. In the ESP class, students are shown how the subject-matter content is expressed in English. The teacher can make the most of the students' knowledge of the subject matter, thus helping them learn English faster.

The term "specific" in ESP refers to the specific purpose for learning English. Students approach the study of English through a field that is already known and relevant to them. This means that they are able to use what they learn in the ESP classroom right away in their work and studies. The ESP approach enhances the relevance of what the students are learning and enables them to use the English they know to learn even more English, since their interest in their field will motivate them to interact with speakers and texts.

ESP assesses needs and integrates motivation, subject matter and content for the teaching of relevant skills.
The responsibility of the teacher

A teacher that already has experience in teaching English as a Second Language (ESL), can exploit her background in language teaching. She should recognize the ways in which her teaching skills can be adapted for the teaching of English for Specific Purposes. Moreover, she will need to look for content specialists for help in designing appropriate lessons in the subject matter field she is teaching.

As an ESP teacher, you must play many roles. You may be asked to organize courses, to set learning objectives, to establish a positive learning environment in the classroom, and to evaluate student s progress.
Organizing Courses

You have to set learning goals and then transform them into an instructional program with the timing of activities. One of your main tasks will be selecting, designing and organizing course materials, supporting the students in their efforts, and providing them with feedback on their progress.
Setting Goals and Objectives

You arrange the conditions for learning in the classroom and set long-term goals and short-term objectives for students achievement. Your knowledge of students' potential is central in designing a syllabus with realistic goals that takes into account the students' concern in the learning situation.
Creating a Learning Environment

Your skills for communication and mediation create the classroom atmosphere. Students acquire language when they have opportunities to use the language in interaction with other speakers. Being their teacher, you may be the only English speaking person available to students, and although your time with any of them is limited, you can structure effective communication skills in the classroom. In order to do so, in your interactions with students try to listen carefully to what they are saying and give your understanding or misunderstanding back at them through your replies. Good language learners are also great risk-takers , since they must make many errors in order to succeed: however, in ESP classes, they are handicapped because they are unable to use their native language competence to present themselves as well-informed adults. That s why the teacher should create an atmosphere in the language classroom which supports the students. Learners must be self-confident in order to communicate, and you have the responsibility to help build the learner's confidence.
Evaluating Students

The teacher is a resource that helps students identify their language learning problems and find solutions to them, find out the skills they need to focus on, and take responsibility for making choices which determine what and how to learn. You will serve as a source of information to the students about how they are progressing in their language learning.
The responsibility of the student

What is the role of the learner and what is the task he/she faces? The learners come to the ESP class with a specific interest for learning, subject matter knowledge, and well-built adult learning strategies. They are in charge of developing English language skills to reflect their native-language knowledge and skills.
Interest for Learning

People learn languages when they have opportunities to understand and work with language in a context that they comprehend and find interesting. In this view, ESP is a powerful means for such opportunities. Students will acquire English as they work with materials which they find interesting and relevant and which they can use in their professional work or further studies. The more learners pay attention to the meaning of the language they hear or read, the more they are successful; the more they have to focus on the linguistic input or isolated language structures, the less they are motivated to attend their classes.

The ESP student is particularly well disposed to focus on meaning in the subject-matter field. In ESP, English should be presented not as a subject to be learned in isolation from real use, nor as a mechanical skill or habit to be developed. On the contrary, English should be presented in authentic contexts to make the learners acquainted with the particular ways in which the language is used in functions that they will need to perform in their fields of specialty or jobs.
Subject-Content Knowledge

Learners in the ESP classes are generally aware of the purposes for which they will need to use English. Having already oriented their education toward a specific field, they see their English training as complementing this orientation. Knowledge of the subject area enables the students to identify a real context for the vocabulary and structures of the ESP classroom. In such way, the learners can take advantage of what they already know about the subject matter to learn English.
Learning Strategies

Adults must work harder than children in order to learn a new language, but the learning skills they bring to the task permit them to learn faster and more efficiently. The skills they have already developed in using their native languages will make learning English easier. Although you will be working with students whose English will probably be quite limited, the language learning abilities of the adult in the ESP classroom are potentially immense. Educated adults are continually learning new language behaviour in their native languages, since language learning continues naturally throughout our lives. They are constantly expanding vocabulary, becoming more fluent in their fields, and adjusting their linguistic behaviour to new situations or new roles. ESP students can exploit these innate competencies in learning English.

Copyright © 2005 Lorenzo Fiorito. This article is for educational purposes only. It may be freely redistributed in its entirety provided that this copyright notice is not removed.

About the author:
Lorenzo Fiorito is a Lecturer in English Language and Linguistics at the University of Naples and European projects manager for Aries Formazione.

English for Specific Purposes?

What is English for Specific Purposes?
English for Specific Purposes (ESP) is more than simply teaching a subject in English to students whose L1 is not English. ESP includes teaching the cultural aspects of that course and how those aspects affect the language and how it is used. There are an infinite number of areas that are under the umbrella of ESP. One could teach English for Business Purposes, English for Medical Pruposes, English for Academic Purposes, English for Tourism/Hospitality Purposes to name a few. Anything you could possibly teach could be considered for an ESP class.

My introduction to ESP came as a Business English teacher. My background includes a BBA in Marketing and Management, working for Toyota Motor Manufacturing and a Honda dealership as well as interning in the international department of Long John Silvers Seafood Restaurants. I tried to teach my students about business but I ended up spending so much time on the vocabulary that I ended up scaling back my original course goals to the point that they were unrecognizable.

ESP requires that a synergy exists between the teaching of English and the new material. In addition, Western rules of etiquette must be factor into the curiculum. Teaching a hospitality student why to ask "Would you like..?" instead of "Do you want..?" is critical. Teaching a business students proper and improper ways to shake hands also might be included in an English for Business Purposes course.

It is the web designer's hope that anything pertaining to useful examples of a topic that will benefit students' advancement in an area will be included on this site. Any and all suggestions and comments will be considered. This site should always be growing and changing as times and people change.

Bahaya Merokok



Rokok merupakan benda yang sudah tak asing lagi bagi kita. Merokok sudah menjadi kebiasaan yang sangat umum dan meluas di masyarakat. Bahaya merokok terhadap kesehatan tubuh telah diteliti dan dibuktikan banyak orang. Efek-efek yang merugikan akibat merokok pun sudah diketahui dengan jelas. Banyak penelitian membuktikan kebiasaan merokok meningkatkan risiko timbulnya berbagai penyakit seperti penyakit jantung dan gangguan pembuluh darah, kanker paru-paru, kanker rongga mulut, kanker laring, kanker osefagus, bronkhitis, tekanan darah tinggi, impotensi serta gangguan kehamilan dan cacat pada janian.

Pasioen-pasien perokok juga berisiko tinggi mengalami komplikasi atau sukarnya penyembuhan luka setelah pembedahan termasuk bedah plastik dan rekonstruksi, operasi plastik pembentukan payudara dan operai yang menyangkut anggota tubuh, bagian bawah.

Pada kenyataannya kebiasaan merokok ini sulit dihilangkan dan jarang diakui orang sebagai suatu kebiasaan buruk. Apalagi orang yang merokok untuk mengalihkan diri dari stress dan tekanan emosi, lebih sulit melepaskan diri dari kebiasaan ini dibandingkan perokok yang tidak memiliki latar belakang depresi.

Penelitian terbaru juga menunjukkan adanya bahaya dari seconhandsmoke yaitu asap rokok yang terhirup oleh orang-orang bukan perokok karena berada di sekitar perokok atau bisa disebut juga dengan perokok pasif. Rokok tidak dapat dipisahkan dari bahan baku pembuatannya yakni tembakau. Di Indonesia tembakau ditambah cengkih dan bahan-bahan lain dicampur untuk dibuat rokok kretek. Selain kretek tembakau juga dapat digunakan sebagai rokok linting, rokok putih, cerutu, rokok pipa dan tambakau tanpa asap (tembakau kunyah).

Sebetulnya apa saja yang terkandung dalam asap sebatang rokok yang dihisap ? Tidak kurang dari 4000 zat kimia beracun. Zat kimia yang dikeluarkan ini terdiri dari komponen gas (85 persen) dan partikel. Nikotin, gas karbonmonoksida, nitrogen oksida, hidrogen sianida, amoniak, akrolein, asetilen, benzaldehid, urethan, benzen, methanol, kumarin, 4-etilkatekol, ortokresol dan perylene adalah sebagian dari beribu-ribu zat di dalam rokok.

Komponen gas asap rokok adalah karbonmonoksida, amoniak, asam hidrosianat, nitrogen oksida dan formaldehid. Partikelnya berupa tar, indol, nikotin, karbarzol dan kresol. Zat-zat ini beracun, mengiritasi dan menimbulkan kanker (karsinogen). Sebetulnya apa sih zat-zat tersebut dan bagaimana mereka membahayakan tubuh ?

(1) Nikotin. Zat yang paling sering dibicarakan dan diteliti orang, meracuni saraf tubuh, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan penyempitan pembuluh darah tepi dan menyebabkan ketagihan dan ketergantungan pada pemakainya. Kadar nikotin 4-6 mg yang diisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan.

(2) Timah hitam (Pb) yang dihasilkan sebatang rokok sebanyak 0,5 ug. Sebungkung rokok (isi 20 batang) yang habis diisap dalam satu hari menghasilkan 10 ug. Sementara ambang batas timah hitam yang masuk ke dalam tubuh adalah 20 ug per hari. Bisa dibayakangkan bila seorang perkok berat menghisap rata-rata 2 bungkus rokok per hari, berapa banyak zat berbahaya ini masuk ke dalam tubuh. (3) Gas karbonmonoksida (CO) memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan dengan hemoglobin dalam sel-sel darah merah. Seharusnya hemoglobin ini berikatan dengan oksigen yang sangat penting untuk pernasapan sel-sel tubuh, tapi karena gas CO lebih kuat daripada oksigen maka gas CO ini merebut tempatnya "di sisi" hemoglobin. Jadilah hemoglobin bergandengan dengan gas CO. Kadar gas CO dalam darah bukan perokok kurang dari 1 persen. Sementara dalam darah perokok mencapai 4-15 persen. (4) Tar adalah kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam komponen padat asap rokok dan bersifat karsinogen. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga mulut sebagai uap padat. Setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran pernafasan dan paru-paru. Pengedapan ini bervariasi antara 3-40 mg per batang rokok, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24-45 mg.

----Antibodi Menurun
Rongga mulut sangat mudah terpapar efek yang merugikan akibat merokok. Tejadinya perubahan dalam rongga mulut sangat masuk diakal karena mulut merupakan awal terjadinya penyerapan zat-zat hasil pembakaran rokok. Temperatur rokok pada bibir adalah 30 derajat C, sedangkan ujung rokok yang terbakar bersuhu 900 derajat C.

Asap panas yang berhembus terus menerus ke dalam rongga mulut merupakan rangsangan panas yang menyebabkan perubahan aliran darah dan mengurangi pengeluaran ludan. Akibatnya rongga mulut menjadi kering dan lebih an-aerob (suasana bebas zar asam) sehingga memberikan lingkungan yang sesuai untuk tumbuhnya bakteri an-aerob dalam plak. Dengan sendirinya perokok berisiko lebih besar terinfeksi bakteri penyebab penyakit jaringan pendukung gigi dibandingkan mereka yang perokok.

Pengaruh asap rokok secara langsung adalah iritasi terhadap gusi dan secara tidak langsung melalui produk-produk rokok seperti nikotin yang sudah masuk melalui aliran darah dan ludah, jaringan pendukung gigi yang sehat seperti gusi, selaput gigi, semen gigi dan tulang tempat tertanamnya gigi menjadi rusak karena terganggunya fungsi normal mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi dan dapat merangsang tubuh untuk menghancurkan jaringan sehat di sekitarnya.

Pada perokok terdapat penurunan zat kekebalan tubuh (antibodi) yang terdapat di dalam ludah yang berguna untuk menetralisir bakteri dalam rongga mulut dan terjadi gangguan fungsi sel-sel pertahanan tubuh. Sel pertahanan tubuh tidak dapat mendekati dan memakan bakteri-bakteri penyerang tubuh sehinggal sel pertahanan tubuh tidak peka lagi terhadap perubahan di sekitarnya juga terhadap infeksi.

Gusi seorang perokok juga cenderung mengalami penebalan lapisan tanduk. Daerah yang mengalami penebalan ini terlihat lebih kasar dibandingkan jaringan di sekitarnya dan berkurang kekenyalannya. Penyempitan pembuluh darah yang disebabkan nikotin mengakibatkan berkurangnya aliran darah di gusi sehingga meningkatkan kecenderungan timbulnya penyakit gusi.

Tar dalam asap rokok juga memperbesar peluang terjadinya radang gusi, yaitu penyakit gusi yang paling sering tejadi yang disebabkan oleh plak bakteri dan faktor lain yang dapat menyebabkan bertumpuknya plak di sekitar gusi. Tar dapat diendapkan pada permukaan gigi dan akar gigi sehingga permukaan ini menjadi kasar dan mempermudah perlekatan plak. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan plak dan karang gigi lebih banyak terbentuk pada rongga mulut perokok dibandingkan bukan perokok. Penyakit jaringan pendukung gigi yang parah, kerusakan tulang penyokong gigi dan tanggalnya gigi lebih banyak terjadi pada perokok daripada bukan perkok. Pada perawatan penyakit jaringan pendukung gigi pasien perokok memerlukan perawatan yang lebih luas dan lebih lanjut. Padahal pada pasien bukan perokok dan pada keadaan yang sama cukup hanya dilakukan perawatan standar seperti pembersihan plak dan karang gigi.

Keparahan penyakit yang timbul dari tingkat sedang hingga lanjut berhubungan langsung dengan banyaknya rokok yang diisap setiap hari berapa lama atau berapa tahun seseorang menjadi perokok dan status merokok itu sendiri, apakah masih merokok hingga sekarang atau sudah berhenti.

Nikotin berperan dalam memulai terjadinya penyakit jaringan pendukung gigi karena nikotin dapat diserap oleh jaringan lunak rongga mulut termasuk gusi melalui aliran darah dan perlekatan gusi pada permukaan gigi dan akar. Nikotin dapat ditemukan pada permukaan akar gigi dan hasil metabolitnya yakni kontinin dapat ditemukan pada cairan gusi.

Perlekatan jaringan ikat dan serat-serat kolagen terhambat, sehingga proses penyembuhan dan regenerasi jaringan setelah perawatan terganggu.

Tembakau kunyah sering disebut juga tembakau tanpa asap, tampaknya juga telah menjadi tren dan produknya banyak dimanfaatkan oleh kalangan muda, atletik dan wanita usia lanjut di Amerika. Di Indonesia mengunyah tembakau telah menjadi kebiasan sejak dulu. Walaupun tanpa asap kebiasaan mengunyah tembakau ini diduga sebagai penyebab terjadinya 'bercak putih' (leukoplakia) dan terjadinya kanker rongga mulut. Kelainan biasanya terjadi di daerah pipi, tempat tembakau tanpa asap ini biasa disisipkan. * drg Amalia (sh)
1

What is Psycholinguistics?

What is Psycholinguistics?
The Domain of Psycholinguistics Inquiry
Psycholinguistics atau the psychology of language merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang membahas tentang proses-proses pemerolehan dan penggunaan bahasa ditinjau dari segi psikologi (Nan Bernstein Ratner, dkk. 1998). Pada umumnya, psycholinguistics mempelajari tiga hal utama (Clark & Clark, 1977; Tanenhaus, 1989):
1. Comprehension: How people understand spoken and written language.
2. Speech Production: How people produce language.
3. Acquisition: How people learn language.
Sementara itu, dalam Wikipedia, Psycholinguistics didefinisikan sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari faktor-faktor psikologi dan neurobiologi yang memungkinkan manusia untuk memperoleh, menggunakan dan memahami bahasa.

Language

What is Language?
Dalam bukunya yang berjudul Introduction to Linguistics, Ronald Wardhaugh mendefinisikan bahasa sebagai “a system of arbitrary vocal symbols used for human communication”.

Perbedaan antara Bahasa Manusia dengan “komunikasi hewan”
Ada beberapa hal yang membedakan antara bahasa (language) dengan tindakan-tindakan penyampaian pesan lainnya, seperti: tangisan bayi, gonggongan anjing, dan tarian lebah atau yang biasa dikenal dengan “waggle dance”. Terdapat beberapa pendapat mengenai perbedaan-perbedaan ini. Yang pertama adalah yang disampaikan oleh Nan Bernstein Ratner dkk. Menurutnya ada beberapa karakteristik khusus yang hanya terdapat pada bahasa manusia. Karakteristik tersebut antara lain:
1. Bahasa manusia memiliki hierarchical structure. Pesan (dalam bahasa manusia) dapat dibagi kedalam unit-unit analisis yang lebih kecil.
2. Bahasa manusia memiliki sifat infinite creativity. Pengguna bahasa dapat meenghasilkan dan memahami kalimat-kalimat dalam bahasa mereka tanpa terbatas. Hal ini sangat berbeda dengan hewan yang hanya dapat menghasilkan bahasa secara terbatas.
3. Bahasa manusia dapat mengungkapkan pengalaman pengguna bahasanya meskipun pengalaman tersebut bersifat abstrak. Hal ini tidak terdapat dalam bahasa hewan. Mereka hanya dapat mengungkapkan hal-hal yang terdapat di depan mereka. Jika bendanya tidak ada, maka mereka (hewan) tidak dapat menyampaikan pesan yang sama.
4. Bahasa merupakan sebuah rule-governed system of behavior. Dalam tangisan bayi atau gonggongan anjing tidak ada salah dan benar. Anjing dapat menggonggong semau mereka. Namun, dalam bahasa manusia ada sistem-sistem tertentu yang membuat sebuah kata/kalimat dapat diterima atau ditolak. Sistem ini menjadikan bahasa dapat dipelajari dan digunakan sevara konstan (Ronald Wardhaugh, hal. 3). Terdapat dua macam sistem dalam bahasa yaitu: sistem bunyi dan sistem arti (the system of sounds and the system of meanings).
5. Bahasa bersifat arbitrary. Bahasa Inggris, seperti bahasa-bahasa lainnya, memiliki konvensi mengenai penempatan kata dalam kalimat. Aturan-aturan inilah yang bersifat arbitrary; tidak ada alasan yang riil mengapa bahasa Inggris membutuhkan konvensi-konvensi gramatikal tertentu. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris Noun Phrase harus mendahului Verb Phrase dan objek mengikuti Verb Phrase(biasanya disebut S-V-O word order), meski tidak semua kalimat dalam bahasa Inggris mengikuti kaidah ini. Selain dalam aturan penyusunan kata dalam kalimat, kearbitarian bahasa juga dapat dilihat dalam kata itu sendiri. Sebagai contoh, tidak ada alasan mengapa ‘sebuah pohon’ disebut ‘tree’ dalam bahasa Inggris, dan tentu saja hal ini juga berlaku untuk bahasa-bahasa lainnya.

Is Language Species-Specific?

Para peneliti di bidang kebahasaan telah lama meneliti komunikasi yang terjadi diantara para binatang untuk mencari tahu pebedaan antara bahasa manusia dengan bahasa bintang, atau dengan kata lain untuk mencari tahu karakteristik yang hanya terdapat dalam bahasa manusia. Meskipun lebah, burung, lumba-lumba, dan primata lain selain manusia dapat menyampaikan atau bertukar pesan dianara mereka, namun mereka sangat bergantung kepada konteks atau bergantung kepada rangsangan (stimulus dependent).

Language Diversity and Language Universal (Perbedaan dan ke-Universalan Bahasa)

Bahasa-bahasa yang terdapat di seluruh dunia memiliki beberapa perbedaan dan persamaan. Pada umumnya, perbedaan dalam bahasa dapat dilihat dengan jelas pada susunan/bentuknya: Sistem bunyi yang dimiliki masing-masing bahasa berbeda, aturan pembentukan kata dalam kalimat dan lexical inventories, serta aturan penyusunan bagian-bagian kalimat.
Perbedaan besar yang terdapat dalam setiap bahasa inilah yang membuat beberapa ahli bahasa tertarik untuk mencari persamaan-persamaan dalam kebahasaan (linguistic universals) atau ciri-ciri yang tetap (constant features) yang mungkin memberi ciri bahasa-bahasa, penggunaannya, dan pemerolehannya. Teori yang mendukung ke-Universalan bahasa adalah teori Universal Grammar yang dikemukakan oleh Noam Chomsky.


The Acquisition of Language by Children

Language acquisition atau pemerolehan bahasa merupakan proses perkembangan kemampuan bahasa pada manusia. Begitu cepatnya pemerolehan bahasa pada anak telah membuat baik orang tua maupun para peneliti terpesona. Ada dua pendapat mengenai pemerolehan bahasa pada anak. Pertama, beberapa ahli bahasa (biasanya disebut kaum nativist) menganggap bahwa bahasa pada dasarnya bersifat innate (bawaan), bahwa anak-anak dilahirkan dengan sebuah bakat spesial, unik, yang memungkinkan manusia untuk dapat memahami/menguasai tata bahasa sebuah bahasa tanpa harus mendapatkan pengajaran. Yang kedua, biasanya disebut kaum behaviorist, berpendapat bahwa para orang tua-lah yang mengajarkan bahasa kepada anak-anak mereka dengan cara menggunakan bahasa yang telah disederhanakan (saat berbicara dengan anak-anak mereka) dan dengan memberikan timbal-balik (feedback) saat anak-anak menggunakan bahasa secara tidak benar atau kurang tepat.
Noam chomsky, yang merupakan salah satu tokoh nativisme, membuat dua klaim berkenaan dengan kontroversi yang terjadi diantara para ahli berkenaan dengan pemerolehan bahasa pada anak.
1. Degeneracy Problem
Teori ini berpendapat bahwa anak-anak (children) mendengar bahasa dengan tidak sempurna, mereka mendengar bahasa yang mengandung banyak kalimat yang tidak sempurna serta tidak tersusun secara benar dari segi gramatika. Oleh karena itu, maka dasar-dasar bahasa pastilah bersifat innate karena lingkungan tidak menyediakan kecukupan bagi anak untuk mengembangkan bahasanya.
2. Negative Evidence Problem
Teori ini beranggapan bahwa anak-anak tidaklah mendapatkan pengetahuan tentang mengapa beberapa struktur diperbolehkan sementara struktur yang lain dilarang baik itu dari orang tua mereka maupun dari pengajaran kebahasaan (Brown & Hanlon, 1970).


Distinguishing Between Language and Speech

Perbedaan antara language dan speech dapat dipahami dengan melihat perbandingan antara program komputer dengan, misalnya, printer. Saat kita ingin untuk berkomunikasi, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah pesan kedalam kata-kata dan kalimat yang dapat menyampaikan maksud/pesan kita. Proses iniah yang disebut bahasa (language). Tahapan kedua adalah menerjemahkan bahasa kedalam sensor motorik yang mengatur articulator, selanjutnya menghasilkan speech. “Speech refers to the actual process of making sounds, using such organs and structures as the lungs, vocal cords, mouth, tongue, teeth, etc.”

REpERENsi-Nipun

Blumenthal, Arthur L. (1970). Language and Psychology; Historical Aspects of Psycholinguistics. USA: John Willey and Sons, inc.
Gleason, Jean Berko, and Nan Bernstein Ratner (ed). Psycholinguistics. (1998). United States of America: Harcourt Brace College Publishers.
http://en.wikipedia.org/wiki/Language
Jakobovits, Leon A, and Murray S. Miron. (1967). Reading in the Psychology of Language. USA: Prentice Hall, inc.
Tarigan, Henry Guntur. (1986). Psikolinguistik. Bandung: Penerbit Angkasa.
www.asha.org/public/speech/development/language_speech.

The Impact of Quantum Learning

The Impact of Quantum Learning

by Bobbi DePorter


The perpetual question facing our education system is how to improve students' academic performance on standardized tests, enhance teachers' instructional techniques and increase student achievement overall. What's working and by what evidence?

A recent study, Quantum Learning's Impact on Achievement in Multiple Settings, was completed by William Benn. Benn, an External Evaluator for Program Improvement Schools, approved by the California Department of Education, studied the impact of the Quantum Learning model on 18 schools in four states.

The schools were chosen for their degree of commitment to Quantum Learning. All had implemented Quantum Learning over a number of years with a majority of their staff participating. High implementation and 'buy-in' from staff is a key component that correlates to the success of any method.

New Lexington Elementary School in the El Monte School District in California was one of the schools chosen for the study. New Lexington began conducting the Quantum Learning school wide reform model during the 2001-2002 school year and have continued through 2003. The results of the Academic Performance Index (API) scores from 2001 and 2002 indicate that New Lexington made statistically and educationally significant gains in academic achievement compared to 44 comparison schools. It also showed gains based on SAT-9 results. New Lexington Principal, Karen Smith commented, "Quantum Learning strategies played a key role in raising our students' literacy levels. In addition, I'm seeing a renewed sense of energy and purpose in my teachers' classrooms that truly helps to 'hook' students. When I see students get excited about learning, I get excited too."

In all 18 schools, Benn's study found that the Quantum Learning model demonstrated a consistent pattern of positive impact on student achievement. These outstanding results ranged from statistically and educationally significant gains in reading, mathematics, writing to more comprehensive measures of core academic achievement. Students whom attend schools that use the Quantum Learning model show a pattern of greater achievement than comparison sample students that have not been taught these strategies.

What is the Quantum Learning (QL) model?
Quantum Learning is a comprehensive model that covers both educational theory and immediate classroom implementation. It integrates research-based best practices in education into a unified whole, making content more meaningful and relevant to students' lives.

Quantum learning is about bringing joy to teaching and learning with ever-increasing 'Aha' moments of discovery. It helps teachers to present their content a way that engages and energizes students. This model also integrates learning and life skills, resulting in students who become effective lifelong learners – responsible for their own education.

The FADE model—Foundation, Atmosphere, Design, Environment—creates the context of Quantum Learning. We know when the context is strong, it 'fades' into the background and creates the structure for learning to occur.

Quantum Learning begins with a strong foundation built on the principles of the 8 Keys of Excellence. It holds the beliefs that: All people can learn, people learn differently, and learning is effective when it is joyful, engaging and challenging. The 8 Keys of Excellence include: Integrity, Commitment, Failure Leads to Success, Ownership, Speak with Good Purpose, Flexibility, This Is It!, and Balance. The 8 Keys of Excellence can be integrated into all subjects and grade levels. The 8 Keys are best implemented when parents and community leaders support and reinforce the Keys.

The Quantum Learning framework for student learning is expressed in 5 Tenets of Learning:
Everything Speaks: Everything, from surroundings and tone of voice to distribution of materials, conveys an important message about learning.
Everything is On Purpose: Everything we do has an intended purpose.
Experience Before Label: Students make meaning and transfer new content into long-term memory by connecting to existing schema. Learning is best facilitated when students experience the information in some aspect before they acquire labels for what is being learned.
Acknowledge Every Effort: Acknowledgment of each student's effort encourages learning and experimentation.
If It's Worth Learning, It's Worth Celebrating!: Celebration provides feedback regarding progress and increases positive emotional associations with the learning.

Quantum Learning creates an empowering atmosphere of trust, safety and a sense of belonging. Establishing engaging, focused traditions creates a sense of belonging and safety and is an effective strategy for classroom management, focusing attention and motivating students to increase participation in learning. Each school day begins with a morning routine and purposeful first statement. These routines are designed to immediately focus students and create resourceful learning states.

Quantum Learning Design Frame
The QL Design Frame that drives the presentation and facilitation of content was formulated from many years of research on effective delivery methods and is the structural frame upon which content is designed to ensure student mastery. The elements (that are aligned with Dr. Georgi Lozanov's learning cycle) are:

Enroll—Use teacher moves that capture the interest, curiosity and attention of the students.
Experience—Create or elicit a common experience, or tap into common knowledge to which all learners can relate. Experience before Label creates schema on which to build new content.
Learn & Label—Present, sequence and define the main content. Students learn labels, thinking skills and academic strategies. Students add new content to their existing schema.
Demonstrate—Give students an opportunity to demonstrate and apply their new learning.
Review and Reflect—Use a variety of effective, multi-sensory review strategies and empower students to process their new content through reflection.
Celebration—Acknowledge the learning. It cements the content and adds a sense of completion.

Quantum Learning creates a supportive physical environment that enhances and reinforces learning. Ideal learning environments include proper lighting, purposeful color, positive affirmation posters, plants, props and music. These elements are easy to include in one's classroom, and students enjoy learning more in a comfortable setting.

The key is to create empowering school environments that build engaging and dynamic communities of learning. The results are enhanced teacher capacity and increased student achievement.
source:
the impact of Quantum learning

Pro Kontra Paket Pelajaran 7/7 2005 di Inggris

Departemen Bidang Anak-Anak, Sekolah dan Keluarga di Inggris menuai kecaman karena akan memberikan paket pelajaran 7/7 2005 pada siswa-siswi sekolah dengan dalih sebagai cara untuk melawan ekstrimisme di negara itu. 7/7 2005 mengacu pada insiden ledakan bom di kota London yang terjadi pada tanggal 7 Juli tahun 2005 lalu.

Paket pelajaran ini membuat berang banyak orang di Inggris, karena para siswa sekolah ditugaskan untuk membuat presentasi tentang insiden serangan bom yang menewaskan 52 orang tersebut. Mereka juga diminta untuk membuat ringkasan tentang motif para pelaku melakukan serangan bahkan dibolehkan untuk membuat perkiraan sendiri apa motif serangan bom itu.

Sejumlah pihak di Inggris mengecam pengajaran 7/7 2005. Jacqui Putnam, korban selamat dalam insiden ledakan bom tersebut mempertanyakan apa pentingnya mengajarkan anak-anak untuk menempatkan diri mereka di posisi para pelaku yang telah melakukan tindakan yang tidak manusiawi. “Pastinya masih ada cara lain yang lebih baik untuk mencapai tujuan mereka,” kata Putnam.

Kritik juga dilontarkan Patrick Mercer, ketua Commons Terrorism Sub-Committee. “Apa manfaatnya berpura-pura jadi seorang pelaku bom bunuh diri jika hal semacam itu justeru mengaburkan tujuan dari pengajaran untuk melawan ekstrimisme. Bayangkan apa yang akan terjadi jika kita meminta anak-anak berpura-pura berperan sebagai Hitler,” tukas Mercer.

Muslim Inggris yang juga anggota parlemen Khalid Mahmood mengatakan, pengajaran semacam itu hanya akan mendorong keyakinan orang pada sesuatu yang sebenarnya sedang dicegah oleh pemerintah Inggris. “Pemerintah seharusnya melihat peristiwa itu dari sisi para korban,” kata Mahmood.

Sail Suleman yang menyusun paket pengajaran 7/7 2005 membela diri bahwa paket pengajaran itu sama pentingnya dengan cara-cara lain yang dilakukan untuk mencegah ekstrimisme. “Kami melihat bagaimana orang bisa sangat ekstrim. Mengapa anak-anak muda melakukan apa yang dilakukan para pelaku bom bunuh diri itu? Apa tekanan yang mereka dapatkan dari teman-teman main mereka? Harapannya, kami mendorong para siswa untuk menghindar dari teman-teman semacam itu,” dalih Suleman.

“Paket pengajaran itu ingin menciptakan sebuah lingkungan, dimana akan ada diskusi tentang ekstrimisme sehingga orang akan mengerti apa yang harus dilakukannya untuk menjadi warga negara yang baik,” sambung Suleman.

Suleman mendapat dukungan dari Tahir Alam, jurubicara bidang pendidikan Muslim Council of Britain. Menurut Alam, dengan mengetahui motif para pelaku bom bunuh diri bisa membantu untuk mengetahui apa akar penyebab ekstrimisme.

Tapi, karena menuai kritik dan kecaman dari banyak pihak, pemerintah Inggris akhirnya membatalkan paket pengajaran itu dan meminta maaf pada para kerabat korban bom bunuh diri 7 Juli 2005. (ln/iol)