Di Balik Setitik Cahaya

Suatu malam di kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk, Rafi, seorang mahasiswa filsafat, menatap langit dari atap kosnya. Ia baru saja selesai membaca buku tebal berjudul “The God Delusion.” Buku itu membuatnya berpikir keras: mungkinkah semua yang ia yakini selama ini hanya ilusi?

“Jika alam semesta ini berjalan otomatis tanpa campur tangan siapa pun, lalu mengapa aku merasa ada makna di balik segalanya?” gumamnya lirih.

Keesokan harinya, Rafi menemui Pak Arman, dosennya yang dikenal bijak dan berwawasan luas.

“Pak,” katanya, “saya sedang berpikir… mungkin Tuhan itu hanya konsep yang dibuat manusia karena ketakutan terhadap kematian.”

Pak Arman menatapnya dengan senyum tenang.

“Pertanyaan yang bagus, Rafi. Tapi katakan padaku, apakah ketakutan melahirkan keteraturan?”

Rafi terdiam. “Maksud Bapak?”

“Lihatlah tubuhmu,” lanjut Pak Arman. “Jantungmu berdetak tanpa kamu perintah. Udara masuk dan keluar dengan ritme yang sempurna. Alam memiliki hukum yang konsisten—matematika, gravitasi, simetri—semuanya berbicara tentang akal dan maksud, bukan kebetulan. Jika semua hanya hasil acak, mengapa hasilnya begitu teratur?”

Rafi mencoba membantah, “Tapi, bukankah semua itu bisa dijelaskan oleh sains?”

Pak Arman tersenyum lagi.

“Betul. Tapi sains menjelaskan bagaimana, bukan mengapa. Sains bisa menjelaskan bagaimana bunga mekar, tapi tidak bisa menjelaskan mengapa keindahan itu menyentuh hatimu. Di titik itu, akal bertemu makna. Dan makna selalu menuntun pada asalnya.”

Beberapa minggu kemudian, Rafi mengikuti program pengabdian di desa terpencil. Di sana, ia bertemu Ibu Siti, seorang wanita tua yang setiap pagi memberi makan anak-anak yatim dengan senyum ikhlas, meski hidupnya serba kekurangan.

Rafi bertanya, “Ibu, kenapa Ibu masih berbuat baik padahal hidup Ibu sendiri sulit?”

Ibu Siti menjawab pelan, “Nak, karena aku yakin Allah tidak melihat hasil, tapi niat. Hidup ini singkat, tapi kebaikan itu kekal.”

Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak yang redup, Rafi kembali menatap langit.

Ia teringat ucapan dosennya: “Agnostisisme sering lahir bukan karena kurang bukti, tapi karena hati belum bersih dari kabut keraguan.”

Rafi akhirnya menulis di jurnalnya:

“Ateisme menganggap alam tanpa makna, agnostik ragu karena takut salah. Tapi keduanya berhenti mencari setelah menemukan tanda-tanda. Padahal kebenaran sejati bukan dihindari, tapi didekati dengan rendah hati.”

Dan untuk pertama kalinya setelah lama, Rafi menunduk… bukan karena kebingungan, tetapi karena kesadaran.

Cerita: Cangkir Kopi dan Alam Semesta

🌌 Cerita: Cangkir Kopi dan Alam Semesta

Suatu sore, di sebuah taman universitas, dua sahabat lama bertemu: Arif, seorang dosen filsafat yang beriman, dan Dian, seorang ilmuwan yang mengaku ateis.

Mereka duduk di bawah pohon rindang sambil menikmati kopi panas. Angin berhembus pelan, dan dedaunan jatuh satu per satu ke tanah.


Dian: “Arif, aku sering berpikir, alam semesta ini berjalan dengan hukum-hukumnya sendiri. Tak perlu Tuhan untuk menjelaskannya.”
Arif: “Benar, hukum-hukum alam memang menakjubkan. Tapi bukankah yang membuat hukum itu lebih menakjubkan lagi?”

Dian tersenyum, meneguk kopinya. “Mungkin saja hukum itu muncul begitu saja, seperti kebetulan kosmik.”

Arif lalu menunjuk ke cangkir kopi di tangan Dian.


Arif: “Kopimu itu, apakah muncul sendiri di tanganmu?”
Dian: “Tentu tidak. Aku memesannya dari barista.”
Arif: “Lalu, barista itu membuatnya dengan bahan yang disiapkan petani kopi, bukan?”
Dian: “Ya, benar.”
Arif: “Jadi, sesuatu yang sederhana seperti secangkir kopi pun membutuhkan rantai sebab-akibat yang panjang dan penuh kesadaran manusia. Sekarang, pikirkan alam semesta — jauh lebih kompleks, jauh lebih indah. Apakah masuk akal bila sesuatu yang sesempurna itu muncul tanpa kesadaran yang lebih tinggi?”

Dian terdiam. Ia menatap permukaan kopi yang berputar pelan tertiup angin.


Dian: “Tapi Arif, aku percaya pada bukti ilmiah, bukan pada hal yang tak terlihat.”
Arif: “Dan bukti ilmiah justru menuntun kita pada keteraturan dan keseimbangan. Kalau keteraturan adalah bukti adanya sistem, bukankah sistem menandakan adanya perancang?”

Setelah lama hening, Arif menambahkan pelan:

Arif: “Ketika seseorang menolak keberadaan Tuhan, ia bukan sedang menolak bukti, tapi menolak makna. Ia ingin alam semesta berjalan tanpa harus bertanggung jawab kepada siapa pun.”

Dian menatap langit sore yang mulai berwarna jingga. Ia tidak menjawab, tapi di dalam hatinya ada pertanyaan baru — bukan tentang Tuhan yang harus dibuktikan, melainkan tentang makna keberadaannya sendiri di tengah jagat raya yang begitu tertata.

Cerita: Eksperimen yang Tak Selesai tapi muncul Insight Baru

⚛️ Cerita: Eksperimen yang Tak Selesai

Di sebuah laboratorium riset fisika kuantum di Tokyo, Dr. Adrian Rahman, seorang ilmuwan muda ateis, tengah memeriksa hasil eksperimen tentang fluktuasi partikel dalam ruang hampa. Ia percaya bahwa alam semesta muncul dari “ketiadaan” — bahwa semuanya adalah hasil kebetulan kuantum.

Suatu malam, Profesor Hana, dosen tamu dari Oxford sekaligus seorang teolog-fisikawan, datang mengunjungi labnya.

Hana: “Masih mengejar teori asal mula semesta dari ketiadaan, Adrian?”
Adrian: “Ya. Jika kita bisa membuktikan bahwa partikel bisa muncul dari vakum kuantum, maka kita tak perlu Tuhan untuk menjelaskan penciptaan.”

Profesor Hana tersenyum tipis dan menatap layar monitor yang menampilkan data eksperimen.


Hana: “Menarik. Tapi izinkan aku bertanya — siapa yang merancang sistem eksperimental ini?”
Adrian: “Saya. Bersama tim saya.”
Hana: “Dan siapa yang menulis algoritma pemroses datanya?”
Adrian: “Saya juga.”
Hana: “Lalu kenapa kamu yakin bahwa sistem yang jauh lebih kompleks — seluruh semesta ini — tidak memerlukan perancang?”

Adrian terdiam. Ia mencoba menjawab dengan nada rasional.


Adrian: “Karena hukum-hukum fisika sudah cukup menjelaskan keteraturan itu.”
Hana: “Tapi hukum-hukum itu berasal dari mana? Kamu menggunakan konstanta, energi, dan probabilitas. Namun apa yang menegakkan hukum itu agar konsisten dan tidak runtuh? Hukum tidak bisa menegakkan dirinya sendiri — sama seperti program yang tidak bisa menulis dirinya tanpa penulis.”

Hening sejenak. Di layar, muncul pola interferensi partikel yang membentuk struktur simetris — begitu indah, nyaris artistik.


Hana: “Lihatlah pola itu, Adrian. Ia menunjukkan bahwa di tingkat paling dasar dari realitas, ada harmoni. Dalam fisika kuantum, keteraturan dan ketidakpastian saling melengkapi — seperti catatan dalam simfoni.
Tapi simfoni tanpa komponis hanyalah kebisingan acak.
Bukankah lebih rasional mengakui ada Kecerdasan yang menata ketidakpastian itu?”

Adrian menatap layar lama sekali. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan persamaan matematis — rasa takjub yang disertai kesadaran bahwa mungkin, di balik seluruh mekanika alam semesta, ada “Sang Pemrogram” yang tak terlihat.

Definition of Ecolinguistics

 1. Definition of Ecolinguistics

Ecolinguistics is an interdisciplinary field that explores the relationship between language, ecology, and society. It studies how language shapes, reflects, and influences human interactions with the natural environment. Originating in the 1990s from the ecological turn in linguistics, ecolinguistics seeks to understand how discourses either support or undermine ecological sustainability.

According to Arran Stibbe (2015, 2021), ecolinguistics examines the stories we live by—the deep narratives, metaphors, and ideologies embedded in language that affect how people perceive and act toward the environment. It is both analytical (describing linguistic patterns) and ethical (evaluating whether these patterns contribute to ecological wellbeing).


2. Focus and Scope of Ecolinguistics

Ecolinguistics integrates linguistic analysis with ecological and cultural awareness. Its focus and scope can be described through several dimensions:

Focus AreaDescription
Ecological Discourse AnalysisInvestigates how texts construct relationships between humans, other species, and the environment.
Critical EcolinguisticsEvaluates whether language promotes ecological harmony or ecological destruction, often guided by Stibbe’s (2021) framework.
Cultural Ecology of LanguageExplores how linguistic expressions embody ecological wisdom and cultural values (e.g., in indigenous or local traditions).
Deictic and Semiotic PerspectivesExamines spatial, temporal, and personal deixis in representing ecological relationships.
Language and IdentityStudies how ecological identity and belonging are linguistically constructed (drawing on Kramsch’s view of language as symbolic of culture).

Thus, the scope of ecolinguistics extends from media discourse, policy texts, and advertisements to works of art and literature, which function as powerful reflections of ecological ideology.


3. Examples of Ecolinguistic Analysis in Works of Art

a. Poetry

  • Example: William Wordsworth’s “Lines Written in Early Spring”

    • Analysis: Through transitivity and appraisal analysis, the poem’s language reveals harmony between human and nature but also laments human alienation. The ecolinguistic reading exposes the contrast between anthropocentric and ecocentric worldviews.

b. Short Stories

  • Example: Ken Liu’s “The Paper Menagerie”

    • Analysis: The story’s use of metaphor and symbolism shows the loss of connection between human culture and natural materials (paper animals as living ecology). Ecolinguistics uncovers how modernity and linguistic assimilation destroy ecological empathy and identity.

c. Novels

  • Example: George Orwell’s Animal Farm (Ecolinguistic Deixis Analysis)

    • Analysis: Spatial deixis like “in the farmhouse” and “on the farm” represent ideological control and ecological disconnection. Temporal deixis such as “from that day onwards” marks the manipulation of natural cycles. Language thus constructs ecological alienation and loss of communal harmony.

d. Drama

  • Example: Henrik Ibsen’s An Enemy of the People

    • Analysis: Through dialogue and conflict, ecolinguistic analysis reveals how discourse of economic progress suppresses environmental truth. The play becomes a critique of industrial discourse that prioritizes profit over ecological health.


4. Theoretical Contributions of Ecolinguistics

AspectTheoretical Contribution
Critical FrameworkProvides a normative dimension to linguistics—evaluating language ethically in relation to environmental sustainability.
Integration of DisciplinesBridges linguistics, ecology, philosophy, and cultural studies, enriching both environmental humanities and language studies.
New Analytical ToolsIntroduces frameworks like Stibbe’s Story Types (destructive vs. beneficial stories) and Ecosophy (a guiding ecological philosophy).
Reconceptualizing LanguageRedefines language as an ecological system—a living part of the environment, not merely a social construct.
Empowerment for ChangeEncourages eco-awareness and activism through critical reading and writing, making literature a site for ecological transformation.

5. Summary

In short, ecolinguistics studies how language constructs ecological relationships, offering a critical perspective on how texts shape environmental understanding. Applied to art and literature, it helps uncover underlying ecological ideologies—whether they promote care, alienation, or destruction of the natural world—while contributing theoretically to the ethical and ecological expansion of linguistic inquiry.

UIN Salatiga Showcases 196 Research Projects at AIICARE 2025: Bridging Science, Society, and Culture

Salatiga, November 3, 2025 — The Centre for Research and Community Service (LP2M) of UIN Salatiga successfully hosted the 2025 Annual International Interdisciplinary Conference and Research Expo (AIICARE), featuring 196 research projects conducted in 2023. The event highlighted the university’s commitment to ensuring that academic research contributes directly to community development and real-world sustainability efforts.

The two-day conference, held at Laras Asri Hotel, Salatiga, carried the theme “Approaches to Sustainability: Bridging Science, Society, and Culture.” It brought together scholars and experts from around the world, including keynote speakers Prof. Zakiyuddin (UIN Salatiga), Prof. Nasr Muhammad Arif (Cairo University, Egypt), Sheikh Abdul Karim Harelimana (Ambassador of Rwanda), Prof. Maila Dinia Rahiem (UIN Jakarta), and Prof. Jumanto (Udinus Semarang).

Opening the event, Salatiga Mayor Dr. Robby Hermawan, Sp.OG. emphasized that academic collaboration strengthens Salatiga’s reputation as a tolerant and innovative city open to research and global partnerships.

The conference proceedings will be peer-reviewed, open access, and published by Taylor & Francis, with proposed Scopus indexing. AIICARE 2025 reaffirms UIN Salatiga’s vision of uniting knowledge for social impact and sustainable global development.