Fenomena pengembangan wisata dan industri halal di Indonesia memunculkan berbagai wacana pro dan kontra yang menarik untuk dianalisis secara kritis. Melalui pendekatan Critical Discourse Analysis (CDA) sebagaimana dikembangkan oleh Fairclough (1995), peneliti dapat menelaah bagaimana ideologi, kepentingan ekonomi, dan nilai keagamaan dikonstruksi dalam teks dan praktik sosial. Misalnya, penelitian mengenai Analisis Wacana Kritis atas Narasi Pro dan Kontra Wisata Halal di Media Lokal Indonesia menunjukkan bahwa media lokal sering menekankan manfaat ekonomi wisata halal, sementara pihak yang kontra memandangnya sebagai bentuk komodifikasi agama dan ancaman terhadap budaya lokal (Fairclough, 1995; van Dijk, 1998). Sejalan dengan itu, studi Komodifikasi Islam dalam Industri Wisata Halal mengungkap bahwa penggunaan label “halal” kerap menjadi strategi pemasaran simbolik tanpa implementasi nilai syariah yang mendalam, sehingga muncul kritik atas hilangnya esensi religius dalam praktik industri (Kitiarsa, 2008).
Dalam konteks kebijakan, wacana yang dihasilkan pemerintah juga tidak lepas dari dilema antara pelayanan umat dan kepentingan ekonomi global. Analisis terhadap Narasi Pemerintah dan Kebijakan dalam Industri Halal menemukan adanya dominasi diskursus ekonomi dan diplomasi pasar, dengan kurangnya penekanan pada etika Islam (Hassan & Lewis, 2014). Sebaliknya, studi berbasis budaya seperti Wacana Kritik atas Wisata Halal dalam Perspektif Kebudayaan Lokal menyoroti ketegangan antara pelestarian budaya daerah dan penerapan norma-norma syariah yang datang dari luar komunitas (Picard, 2015).
Selain itu, perbedaan persepsi antara wisatawan Muslim dan non-Muslim terhadap label halal menjadi wacana tersendiri. Analisis terhadap diskursus daring menunjukkan bahwa wisatawan Muslim melihat label halal sebagai jaminan spiritual, sedangkan non-Muslim menganggapnya sekadar strategi layanan tambahan (Battour & Ismail, 2016). Penelitian lain, Bisnis atau Dakwah? Kontroversi Identitas Halal dalam Industri Perhotelan, mengungkap bahwa sebagian besar hotel berlabel halal hanya mengadopsi sebagian nilai syariah tanpa penerapan menyeluruh, sehingga terjadi bentuk hybrid identity (Stephenson, 2014).
Dalam wacana sertifikasi halal, muncul perdebatan antara kelompok yang melihatnya sebagai peluang investasi dan pihak yang menganggapnya beban administratif bagi pelaku usaha kecil (Zailani et al., 2019). Sementara itu, penelitian berjudul Perspektif Etis dalam Industri Wisata Halal menyoroti praktik yang melenceng dari nilai-nilai Islam seperti kejujuran, kesederhanaan, dan keadilan sosial, di mana kemewahan berlebihan dianggap bertentangan dengan prinsip wasatiyyah (Henderson, 2010). Kajian perbandingan antara wisata halal dan wisata konvensional juga menunjukkan konstruksi citra yang berbeda—wisata halal dianggap “bersih dan aman”, sementara wisata konvensional diidentikkan dengan kebebasan dan petualangan (Sahida et al., 2011).
Akhirnya, penelitian Resistensi terhadap Wisata Halal memperlihatkan bahwa penolakan muncul terutama ketika proyek wisata halal dipersepsikan sebagai kebijakan top-down tanpa keterlibatan masyarakat lokal (Din, 1989). Keseluruhan penelitian ini memperlihatkan bahwa wacana seputar wisata dan industri halal tidak tunggal, melainkan sarat dengan pertarungan ideologis antara komersialisasi, nilai agama, dan identitas budaya. Analisis wacana kritis membantu memahami relasi kuasa di balik narasi pro dan kontra tersebut sehingga dapat ditemukan model pengembangan wisata halal yang lebih inklusif, beretika, dan berkeadilan sosial (Fairclough, 2003; van Leeuwen, 2008).
📚 Daftar Pustaka (APA 7th Edition)
Battour, M., & Ismail, M. N. (2016). Halal tourism: Concepts, practices, challenges and future. Tourism Management Perspectives, 19, 150–154. https://doi.org/10.1016/j.tmp.2015.12.008
Din, K. H. (1989). Islam and tourism: Patterns, issues, and options. Annals of Tourism Research, 16(4), 542–563. https://doi.org/10.1016/0160-7383(89)90008-7
Fairclough, N. (1995). Critical discourse analysis: The critical study of language. London: Longman.
Fairclough, N. (2003). Analyzing discourse: Textual analysis for social research. London: Routledge.
Hassan, A., & Lewis, R. (2014). Islamic branding: Insights and challenges. Journal of Islamic Marketing, 5(2), 150–158. https://doi.org/10.1108/JIMA-11-2013-0076
Henderson, J. C. (2010). Sharia-compliant hotels. Tourism and Hospitality Research, 10(3), 246–254. https://doi.org/10.1057/thr.2010.3
Kitiarsa, P. (2008). Religious commodifications in Asia: Marketing gods. Routledge.
Picard, M. (2015). Tourism, culture and religion in Bali. University of Hawai'i Press.
Sahida, W., Rahman, S. A., Awang, K. W., & Man, Y. C. (2011). The implementation of Shariah compliant concept hotel: De Palma Hotel Ampang, Malaysia. International Business and Management, 3(2), 198–205.
van Dijk, T. A. (1998). Ideology: A multidisciplinary approach. London: Sage.
van Leeuwen, T. (2008). Discourse and practice: New tools for critical discourse analysis. Oxford University Press.
Zailani, S., Omar, A., & Kopong, S. (2019). Halal certification: An international marketing issues and challenges. Procedia Economics and Finance, 37, 74–79. https://doi.org/10.1016/S2212-5671(16)30194-3
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comment...I am looking forward your next visit..