rekaman mp3 pidato Ir.soekarno yang bersemangat sekali




mari donwload PidatoMbakarsemangat1th1963.mp3
download full semua pidato Ir.sukarno
donlot sekarang.klik sini ya

ANTING IBU DAN BAN SEPEDA AYAH

pENTING musyawarah dan berunding di suatu keluarga di gambarkan dalam cerita berikut: Si ibu kehilangan sebelah antingnya dan ban belakang sepeda bapk sdh bocor dan rusak berat.Karena tidak ada musyawarah dalam keluarga itu, si ibu berpikr karena anting yg satu sudah hilang maka ia menjual anting yg satu lagi untuk membelikan ban belakang sepeda bapk(suaminya).Si bapakpun punya pikiran yg serupa dgn si ibu untuk menjual ban sepeda yang depan yg masih bagus dan baik untuk dibelikan anting si ibu yg sebelah hilang itu.JADILAH KEDUA NYA (SI IBU DAN SI BAPAK)BERPIKIR dengan perbuatannya itu saling melengkapi,dan meng-eksperesikan kasih sayang mereka dengan membuat kejutan dalam rumah tangga mereka.NAMUN SAYANG NIAT BAIK si ibu dgn membelikan ban sepeda bapak dan niat baik bapak membelikan sebelah anting si ibu TIDAK DILETAKAN DALAM TAHTA MUSYAWARAH( hasilnya kurang berguna)Singkat cerita si ibu pu pergi ketoko emas untuk menjual antingnya yg sebelah dan kemudian langsung ketoko ban sepeda untuk membeli ban belakang sepeda sang bapak.Si bapak pun buat yg sama menjual ban sedepan ke toko sepeda,dan langsung ke toko emas untuk membeli sebelah anting ibu yg hilang itu.Setelah pulang kerumah ..sampai dirumah mereka saling memberikan hadiah apa yg mereka beli...Ayah kaget si ibu apalagi...pada akhirnya.. SIBAPAK TETAP PUNYA BAN SATU DAN IBU JUGA PUNYA ANTING SATU..bEGITULAH JIKA dalam rumah tangga tidak ada musyawarah yang terjadi hanya SALAH PAHAM,meskipun si ibu dan si bapak mempunyai niat yang baik untuk saling menyenangkan pasangannya tetapi niat baik itu tidak diletakkan pada TAHTA (FORUM) MUSYAWARAH HASINYA DEMIKIAN.( SEMOGA cerita ini ada kebaikan yg kita dalam nya ..salam rumah hati.
sumbernya dari; RUMAH HATI FACEBOOK GROUP

Salah Kaprah dalam Krama Desa

Bahasa yang digunakan oleh anggota masyarakat bukanlah sesuatu yang mati tetapi akan terus hidup dan berkembang sejalan dengan dinamika keativitas anggota masyarakat di masing-masing wilayah tempat anggota masyarakat itu hidup. Salah satu contohnya dalam penggunaan Bahasa Jawa ialah penggunaan ragam tingkat tutur (undha usuk) bahasa Jawa yang sering disebut Krama Desa. Yang dimaksudkan Krama Desa adalah bahasa Krama yang dipakai oleh orang yang sering dikatakan sebagai kurang dapat berbahasa dengan benar.

Tingkat tutur ini nampak jelas kelihatan aneh, jelek, dan kampungan jika dibandingkan dengan Basa Kedathon (bahasa istana) yang merupakan bahasa yang digunakan oleh para kerabat istana dan wilayah pemakaiannya pun terbatas hanya dalam istana. Ragam ini dianggap indah dan bagus karena prestise sosial tertentu. Di dalam masyarakat yang memuliakan kerajaan, keraton dianggap tempat terhormat bagi orang terhormat pula, bahasanya pun dianggap terhormat dan karena itu patut menjadi acuan bagaimana berbahasa yang baik dan benar. (Sumarsono: 2002:29).

Apabila lebih lanjut dicermati Krama Desa lebih tepat disebut dengan bahasa krama yang kurang baku atau non standar karena banyak kata krama yang tak baku misalnya kata milai (mulai), tanggi (tetangga), tegil (kebun), waos (gigi), percados (percaya), riyadin (idulfitri) atau menghaluskan nama suatu daerah dan kelompok masyarakat yang seharusnya tak perlu dikramakan menjadi Hyper-krama seperti ‘Semarang’, ‘Karanganyar’, ‘Pasar Gedhe’, ‘Pasar Pon’ dan ‘Cina’ menjadi ‘Semawis’, ‘Kawis Enggal’, ‘Peken Ageng’, ‘Peken Pon‘ dan ‘Cinten’.

Melihat fenomena diatas menurut S.S.T Wisnu Sasangka, seorang pakar bahasa Jawa, penamaan Krama Desa sebenarnya merupakan olok-olok yang dilakukan orang kota terhadap orang desa. Saat itu orang yang tak dapat berbahasa dengan benar menurut orang Nagari (orang kota) diidentikkan dengan orang desa sehingga bahasa krama yang digunakan disebut Krama Desa (22:2004).

Hal yang menarik untuk dibahas disini adalah mengenai tepat atau tidaknya sikap orang kota yang dengan sudut pandang “ke-kota-annya” merasa bahasa mereka lebih “indah” dan “bagus” daripada bahasa orang desa. Kata “”Desa” dalam istilah “Krama Desa” bersinonim dengan kata “Kampung” yang jika diperdalam tingkat ejekannya menjadi kata “Kampungan”. Kata “Kampung” dan “Kampungan” berkonotasi tidak mengenal tata krama per-kota-an dan tak tahu sopan santun. Kata Samsudin Berlian seorang pakar linguistik, bahasa adalah kekuasaan. Orang kota yang lebih dekat dengan pusat kekuasaan seolah-olah punya hak istimewa untuk mengembangkan makna kata dan menyusun kamus. Padahal orang desa juga punya hak yang sama (190:2006).

Jika direnungkan lebih dalam setiap kelompok masyarakat entah di kota maupun di desa memiliki daya kreativitas masing-masing dalam mengembangkan bahasa. Kreativitas itu bila secara manasuka (arbitrer) disepakati oleh kelompok masyarakat tertentu akan memperkaya khazanah ragam bahasa Jawa yang ada. Jadi meskipun ungkapan leksikon Krama desa itu seolah-olah terdengar aneh ,kampungan dan salah kaprah rasanya tak ada yang perlu diluruskan dengan ungkapan tersebut. Seperti halnya mendengar ungkapan dialek Banyumasan “Wetenge kencot” (perutnya lapar) atau “Ramane teka“(ayahnya datang). Rasanya tidak ada yang salah. Semua itu adalah wujud kreativitas bahasa yang perlu dihargai dan dihormati eksistensinya.
Dimuat di sosbud.kompasiana.com