ANTING IBU DAN BAN SEPEDA AYAH

pENTING musyawarah dan berunding di suatu keluarga di gambarkan dalam cerita berikut: Si ibu kehilangan sebelah antingnya dan ban belakang sepeda bapk sdh bocor dan rusak berat.Karena tidak ada musyawarah dalam keluarga itu, si ibu berpikr karena anting yg satu sudah hilang maka ia menjual anting yg satu lagi untuk membelikan ban belakang sepeda bapk(suaminya).Si bapakpun punya pikiran yg serupa dgn si ibu untuk menjual ban sepeda yang depan yg masih bagus dan baik untuk dibelikan anting si ibu yg sebelah hilang itu.JADILAH KEDUA NYA (SI IBU DAN SI BAPAK)BERPIKIR dengan perbuatannya itu saling melengkapi,dan meng-eksperesikan kasih sayang mereka dengan membuat kejutan dalam rumah tangga mereka.NAMUN SAYANG NIAT BAIK si ibu dgn membelikan ban sepeda bapak dan niat baik bapak membelikan sebelah anting si ibu TIDAK DILETAKAN DALAM TAHTA MUSYAWARAH( hasilnya kurang berguna)Singkat cerita si ibu pu pergi ketoko emas untuk menjual antingnya yg sebelah dan kemudian langsung ketoko ban sepeda untuk membeli ban belakang sepeda sang bapak.Si bapak pun buat yg sama menjual ban sedepan ke toko sepeda,dan langsung ke toko emas untuk membeli sebelah anting ibu yg hilang itu.Setelah pulang kerumah ..sampai dirumah mereka saling memberikan hadiah apa yg mereka beli...Ayah kaget si ibu apalagi...pada akhirnya.. SIBAPAK TETAP PUNYA BAN SATU DAN IBU JUGA PUNYA ANTING SATU..bEGITULAH JIKA dalam rumah tangga tidak ada musyawarah yang terjadi hanya SALAH PAHAM,meskipun si ibu dan si bapak mempunyai niat yang baik untuk saling menyenangkan pasangannya tetapi niat baik itu tidak diletakkan pada TAHTA (FORUM) MUSYAWARAH HASINYA DEMIKIAN.( SEMOGA cerita ini ada kebaikan yg kita dalam nya ..salam rumah hati.
sumbernya dari; RUMAH HATI FACEBOOK GROUP

Salah Kaprah dalam Krama Desa

Bahasa yang digunakan oleh anggota masyarakat bukanlah sesuatu yang mati tetapi akan terus hidup dan berkembang sejalan dengan dinamika keativitas anggota masyarakat di masing-masing wilayah tempat anggota masyarakat itu hidup. Salah satu contohnya dalam penggunaan Bahasa Jawa ialah penggunaan ragam tingkat tutur (undha usuk) bahasa Jawa yang sering disebut Krama Desa. Yang dimaksudkan Krama Desa adalah bahasa Krama yang dipakai oleh orang yang sering dikatakan sebagai kurang dapat berbahasa dengan benar.

Tingkat tutur ini nampak jelas kelihatan aneh, jelek, dan kampungan jika dibandingkan dengan Basa Kedathon (bahasa istana) yang merupakan bahasa yang digunakan oleh para kerabat istana dan wilayah pemakaiannya pun terbatas hanya dalam istana. Ragam ini dianggap indah dan bagus karena prestise sosial tertentu. Di dalam masyarakat yang memuliakan kerajaan, keraton dianggap tempat terhormat bagi orang terhormat pula, bahasanya pun dianggap terhormat dan karena itu patut menjadi acuan bagaimana berbahasa yang baik dan benar. (Sumarsono: 2002:29).

Apabila lebih lanjut dicermati Krama Desa lebih tepat disebut dengan bahasa krama yang kurang baku atau non standar karena banyak kata krama yang tak baku misalnya kata milai (mulai), tanggi (tetangga), tegil (kebun), waos (gigi), percados (percaya), riyadin (idulfitri) atau menghaluskan nama suatu daerah dan kelompok masyarakat yang seharusnya tak perlu dikramakan menjadi Hyper-krama seperti ‘Semarang’, ‘Karanganyar’, ‘Pasar Gedhe’, ‘Pasar Pon’ dan ‘Cina’ menjadi ‘Semawis’, ‘Kawis Enggal’, ‘Peken Ageng’, ‘Peken Pon‘ dan ‘Cinten’.

Melihat fenomena diatas menurut S.S.T Wisnu Sasangka, seorang pakar bahasa Jawa, penamaan Krama Desa sebenarnya merupakan olok-olok yang dilakukan orang kota terhadap orang desa. Saat itu orang yang tak dapat berbahasa dengan benar menurut orang Nagari (orang kota) diidentikkan dengan orang desa sehingga bahasa krama yang digunakan disebut Krama Desa (22:2004).

Hal yang menarik untuk dibahas disini adalah mengenai tepat atau tidaknya sikap orang kota yang dengan sudut pandang “ke-kota-annya” merasa bahasa mereka lebih “indah” dan “bagus” daripada bahasa orang desa. Kata “”Desa” dalam istilah “Krama Desa” bersinonim dengan kata “Kampung” yang jika diperdalam tingkat ejekannya menjadi kata “Kampungan”. Kata “Kampung” dan “Kampungan” berkonotasi tidak mengenal tata krama per-kota-an dan tak tahu sopan santun. Kata Samsudin Berlian seorang pakar linguistik, bahasa adalah kekuasaan. Orang kota yang lebih dekat dengan pusat kekuasaan seolah-olah punya hak istimewa untuk mengembangkan makna kata dan menyusun kamus. Padahal orang desa juga punya hak yang sama (190:2006).

Jika direnungkan lebih dalam setiap kelompok masyarakat entah di kota maupun di desa memiliki daya kreativitas masing-masing dalam mengembangkan bahasa. Kreativitas itu bila secara manasuka (arbitrer) disepakati oleh kelompok masyarakat tertentu akan memperkaya khazanah ragam bahasa Jawa yang ada. Jadi meskipun ungkapan leksikon Krama desa itu seolah-olah terdengar aneh ,kampungan dan salah kaprah rasanya tak ada yang perlu diluruskan dengan ungkapan tersebut. Seperti halnya mendengar ungkapan dialek Banyumasan “Wetenge kencot” (perutnya lapar) atau “Ramane teka“(ayahnya datang). Rasanya tidak ada yang salah. Semua itu adalah wujud kreativitas bahasa yang perlu dihargai dan dihormati eksistensinya.
Dimuat di sosbud.kompasiana.com

ADA APA DENGAN PEMAKZULAN?

ADA APA DENGAN PEMAKZULAN?

Istilah “pemakzulan” belakangan ini begitu populer muncul di tengah ramainya kerja Pansus Bank Century. Ada sebagian kalangan menilai, istilah tersebut merupakan manifestasi sikap khawatir dan paranoid yang berlebihan dari pihak status quo yang takut dijatuhkan kekuasaannya. jika anggota Pansus bisa menemukan penyimpangan dan benar-benar ada perilaku korup di balik kebijakan penalangan Bank Century, bisa jadi “pemakzulan” bukan lagi sebuah wacana dan istilah, melainkan menjadi sebuah realitas politik yang sulit ditolak kebenarannya. Oleh karenanya, sebelum Pansus bertindak “membahayakan”, penguasa perlu memberikan “peringatan dini” bahwa “pemakzulan” tidak dikenal dalam konstitusi. Pesan semacam itulah yang dipahami oleh khalayak umum.
Terlepas dari kontroversi “pemakzulan”, yang jelas situasi politik kontemporer sejak awal telah memanas. Pansus di Senayan sepertinya sedang menggelindingkan “bola liar” yang segera ditangkap berbagai elemen masyarakat. Demonstrasi diberbagai tempat termasuk unjuk rasa tanggal 28 Januari yang telah lewat merupakan salah satu catatan penting bagi Presiden SBY setelah melewati 100 hari kepemimpinannya. Tak hanya kasus Bank Century yang dibidik para pengunjuk rasa, kriminalisasi KPK, diskriminasi hukum, atau maraknya mafia hukum dan peradilan, juga menjadi isu kritis dalam menyikapi perilaku politik pemerintahan dan kekuasaan SBY yang dinilai “gagal” menjalankan amanat rakyat. “Bola liar” itu bisa jadi akan terus menggelinding ke segala penjuru dan membuka kelemahan-kelemahan politik yang selama ini belum terungkap. Rival-rival politik SBY bisa dipastikan akan memanfaatkan suasana politik semacam itu untuk terus menggoyang posisi status quo Presiden SBY dan koalisinya.
Secara etimologis dan morfologis, “pemakzulan” berasal dari kata “MAKZUL” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna: berhenti memegang jabatan; turun takhta; sesudah mendapat imbuhan Pe-an menjadi “Pemakzulan” memiliki makna: proses, cara, perbuatan memakzulkan. Sehingga yang dimaksud dengan “Pemakzulan” oleh anggota Pansus DPR kepada SBY bermakna: Upaya, proses, cara, perbuatan yang dilakukan oleh anggota Pansus DPR untuk memberhentikan SBY dari jabatannya. Kata “pemakzulan” ini sebenarnya berbeda maknanya dengan kata “Impeachment” yang berasal dari Bahasa Inggris berasal dari kata “to impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah “pemberhentian”, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, “Strictly speaking, ‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya, kata impeachment itu dalam Bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhani.
Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian demikian seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah istilah “impeachment” itu identik dengan ‘pemberhentian’. Padahal proses permintaan pertanggungjawaban yang disebut impeachment itu tidak selalu berakhir dengan tindakan pemberhentian terhadap pejabat yang dimintai pertanggungjawaban. Contoh kasus adalah peristiwa yang dialami oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, yang di-impeach oleh House of Representatives, tetapi dalam persidangan Senat tidak dicapai jumlah suara yang diperlukan, sehingga kasus Bill Clinton tidak berakhir dengan pemberhentian.
Melihat dari contoh yang telah terjadi, maka haruslah dibedakan antara perkataan “impeachment” dengan “removal from office” yang berarti pemberhentian dari jabatan. Lembaga impeachment ini hanyalah sarana untuk melakukan pemberhentian terhadap pejabat publik. Namun hasilnya masih tergantung pada proses hukum dan politik yang melingkupinya.
Jadi secara linguistik, “Pemakzulan” tidak sama dengan “Impeachment”. Pemaknaan kedua kata tersebut secara Bahasa jelas memiliki arti yang berbeda. Namun, jika melihat berita yang beredar di media massa mengenai kedua kata tersebut membuat banyak orang yang tidak paham mengenai politik merasa rancu dalam memahami kedua makna kata tersebut.
Kebanyakan orang di jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter berkomentar bahwa "makzul" merupakan kata baru. sebenarnya tidak demikian. Berbeda dengan berbagai istilah teknologi yang memang baru dan harus dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, konsep pemakzulan sudah dikenal sejak orang-orang kenal sistem pemerintahan. Dan manusia Indonesia sudah membangun negara-negara besar sejak berabad-abad silam. Jadi bisa diperkirakan kata ini sudah sangat lama dikenal dalam bahasa Indonesia, atau mungkin lebih tepat bahasa Melayu, karena istilah bahasa Indonesia sendiri baru dipopulerkan awal abad ke-20.

Untuk melacak kemunculan istilah "makzul" ini dalam tulisan bahasa Melayu, alat yang bagus adalah fasilitas pencarian dari situs web Malay Concordance Project (MCP). Di situs ini bisa dilacak kemunculan sebuah kata dalam naskah-naskah berbahasa Melayu, mulai dari Batu Bersurat Terengganu (ca. abad ke-14) sampai Hikayat Kerajaan Sikka (1925-1953). Kemunculan kata tersebut dapat diurutkan berdasarkan kronologi.

Dengan situs tersebut dapat ditemukan bahwa istilah makzul (dalam bentuk ma'zul) muncul pertama kali di Hikayat Muhammad Hanafiah. Hikayat yang disadur dari cerita Persia ini diperkirakan paling tidak ditulis tahun 1450, bahkan mungkin sudah ada sejak tahun 1380. Jadi paling tidak dalam bahasa Melayu istilah ini sudah dikenal sejak lebih dari 450 tahun yang lalu. Jauh dari baru bukan?
Meskipun sudah lama diperkenalkan, para ahli bahasa sebenarnya bertanya-tanya mengapa orang Indonesia harus meminjam istilah ini dari bahasa Arab. Tidak adakah kata Indonesia yang cocok? Ada yang menjawab "pemberhentian", ada juga yang lain memberikan usulan “makzul ialah “dipecat". Walaupun tentunya usulan ini sulit diterima karena bangsa kita sulit menerima keterusterangan dan pandai mengolah kata untuk menutupi realitas yang pahit. Seperti frasa “menyesuaikan harga” sebagai ganti frasa “menaikkan harga”, frasa “masyarakat pra-sejahtera” sebagai ganti frasa “ masyarakat miskin”. Terlebih lagi di jaman orde baru frasa ” mengamankan” sering dipakai untuk “menangkap orang-orang yang dianggap subversip atau menentang penguasa”.
Di sisi yang lain Menurut Sawali Tuhusetya seorang penyair, guru dan blogger terkenal, dari sisi kebahasaan, sesungguhnya “pemakzulan” tidak selalu bermakna upaya seseorang atau kelompok tertentu untuk memberhentikan orang atau kelompok lain dari jabatan, tetapi juga bisa terjadi karena alasan tertentu, seseorang atau kelompok yang bersangkutan meletakkan jabatannya atas inisiatif sendiri.
Di negara-negara maju dan telah memiliki tradisi demokrasi yang mapan, etika dan moral tersebut dipraktikkan, salah satunya, dalam bentuk abdikasi. Istilah abdikasi diserap dari bahasa Inggris “abdication” yang berakar dari kata “dico”; berarti mengumumkan pengunduran diri dari tahta.
Kekuasaan dan jabatan bukanlah tujuan, tetapi sekedar alat. Karena itu. jika seseorang gagal dalam menggunakan alat tersebut untuk mencapai tujuan, lebih baik jabatan itu ia tinggalkan agar untuk memberikan kesempatan kepada orang lain yang memiliki komitmen dan kemampuan untuk menggunakannya sebagai alat untuk mencapai tujuan kekuasaan, yakni untuk menciptakan kebaikan bersama (common goods).
Keterlibatan dalam sebuah kasus atau skandal, merupakan salah satu cermin kegagalan dalam mengemban amanat kekuasaan. Karena itu. seorang pejabat yang terlilit sebuah skandal, sebaiknya non aktif agar proses pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar dan transparan. Baru setelah yang bersangkutan ditetapkan bebas dari seluruh dakwaan, maka dapat kembali lagi menjabat jabatan yang sebelumnya ia tinggalkan karena kepercayaan publik akan dapat dipulihkan.
Bentuk Pertanggungjawaban Mengundurkan diri merupakan salah satu wujud pertanggungjawaban kegagalan dan kesalahan. Pejabat-pejabat yang merasa gagal dalam mengemban kepercayaan publik atau terindikasi terlibat dalam penyelewengan kekuasaan atau skandal, mengambil jalan melepaskan jabatannya sebagai manifestasi rasa malu kepada publik.Rasa tak memiliki muka lagi itu menjadi alasan untuk tidak memperpanjang usia kekuasaan, karena telah terjadi ketidakpercayaan publik. Sebab, kepercayaan publik merupakan basis paling elementer dalam praktik berdemokrasi.
Tradisi mengundurkan diri dengan elegan menjadi budaya politik di beberapa maju. Perdana Menteri Jepang, Yasuo Fukuda mengumumkan untuk mengundurkan diri secara mendadak pada 1 September 2008 untuk memecahkan kebuntuan politik Jepang. Alasan yang sama juga dilakukan oleh PM Shlnzo Abe pada saat mengundurkan diri pada 12 September 2007.Abe kehilangan kepercayaan publik setelah didera berbagai skandal korupsi. Fukuda menyatakan dirinya tidak layak lagi memimpin Jepang. Pada Mei 2007, Menteri
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Toshi-katsi Matsuoka bahkan sampai bunuh diri, karena tak kuasa menahan malu yang disebabkan oleh kebijakan koruptif yang diambilnya dipertanyakan publik.Tradisi abdikasi di Jepang sudah terjadi jauh-jauh hari sebelumnya. Pada April 1989. PM Noboru Takeshila bahkan mengundurkan diri karena korupsi yang tidak dilakukan olehnya sendiri, melainkan dilakukan oleh anggota partainya. LDP (Liberal Democratic Party).
Perdana Menteri Tanzania, Edward Lo-wassa mengundurkan diri pada Februari 2008.karena kasus korupsi yang dilakukan oleh kantornya mulai diselidiki. Ia mengambil langkah abdikasi walaupun bersamaan dengan pernyataan pengunduran diri, ia juga menyatakan bahwa ia tidak bersalah dan belum memiliki kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalannya.Namun, karena ia memandang bahwa abdikasi merupakan solusi terbaik untuk menyelamatkan negara, maka ia melakukan langkah itu. Kepentingan jangka panjang demi negara diletakkan jauh lebih tinggi di alas kepentingan jangka pendek, baik dalam konteks pribadi maupun golongan.
Di Amerika Serikat, abdikasi juga menjadi tradisi yang cukup kuat. Pada 31 Juli 2009.Walikota Hoboken. New Jersey, Amerika Serikat, mengundurkan diri dari jabatannya, meski ia tak mengaku bersalah. Pengunduran diri juga telah dilakukan oleh Presiden Nixon pada tahun 1974 karena investigasi terhadap skandal Watergate semakin memojokkan nya.Walaupun pada umumnya mereka mengundurkan diri karena terpaksa, akan tetapi proses abdikasi dilakukan dengan elegan dan memberikan statemen yang elegan pula. Namun, di Indonesia, budaya malu dan abdikasi belum nampak tumbuh. Kalau toh ada pejabat yang terpaksa mengundurkan diri, itu pun karena desakan yang sudah tak terbendung lagi. Dan lebih dari itu. statemen yang dilontarkan tidak elegan dan menunjukkan rasa sakit hati yang seharusnya tidak dialami oleh seorang negarawan.
Statemen itu dapat ditemukan misalnya pada Presiden Soeharto pada saat mengundurkan diri pada Mei 1998 dengan mengatakan "Saya mundur dengan lila legawa . Dan akan segera mundur, mandeg ing pandita. Ora dadi presiden yo ora patheken!". Dalam statemen ini. Soeharto menekankan kata lapang dada dan kerelaan, tapi kalimat terakhirnya menunjukkan secara jelas keterpaksaan yang amat dalarn.Contoh-contoh pengunduran diri lain yang ada di negeri ini hanya sekedar upaya untuk membuat publik lupa. Setelah itu. mereka akan menjabat lagi seolah-olah tak pernah terlibat masalah. Nampaknya budaya kekuasaan di negeri ini agaknya belum memungkinkan adanya “pemakzulan” karena inisiatif sendiri. Alih-alih memakzulkan diri sendiri, jika perlu menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, meski ada indikasi kuat telah menunjukkan perilaku anomali kekuasaan.
Pada situasi demikian, kita segera teringat pada ungkapan pujangga Friedrich von Schiller yang pernah dikutip Bung Hatta "zaman besar telah dilahirkan abad, tetapi zaman besar itu hanya menemukan manusia kerdil".
Kita telah melalui banyak zaman yang sering kita sebut dengan orde. Tapi, dari sekian banyak orde, hanya sedikit melahirkan manusia berjiwa besar seperti Bung Hatta yang secara elegan mengundurkan diri pada saat merasakan ada penyelewengan demokrasi pada era kepemimpinannya (bersama Soekarno).

Bung Hatta tak berbuat salah, tapi ia merasa dirinya berada di tempat yang salah. Ia malu pada rakyat yang mempercayai integritas dirinya jika tetap bersikukuh pada jabatannya (sebagai Wakil Presiden mendampingi Presiden Soekarno).
Bagi Bung Hatta, lebih baik menjadi mantan pejabat tapi terhormat, daripada menjadi pejabat tapi tidak terhormat. Suatu sikap yang kini hilang dari umumnya elite politik kita.
Kini, hasil kerja Pansus Bank Century sudah dinantikan oleh rakyat banyak. Jangan sampai kerja berbulan-bulan yang dibiayai uang rakyat itu berbelok arah atau kandas di tengah jalan. Kredibilitas mereka dipertaruhkan. Jangan biarkan rakyat yang sudah memilih mereka melalui Pemilu terkhianati dengan membelokkan arah Pansus jadi makin tidak jelas akibat intervensi dari kelompok tertentu yang merasa terusik lantaran guliran “bola liar” itu. Jika para wakil rakyat tak sanggup menunaikan tugasnya secara jujur dan fair, sudah dipastikan simpati dan empati rakyat akan berbalik sikap menjadi antipati.
Sementara itu, pihak-pihak yang diduga melakukan penyimpangan di balik kebijakan penalangan Bank Century yang konon menggunakan uang negara sebesar 6,7 trilyun itu juga tak perlu kebakaran jenggot. Biarkan para wakil rakyat terus bekerja dan tak perlu melakukan intervensi-intervensi politis yang justru akan membuat atmosfer sosial-politik di negeri ini jadi makin tak menentu. Agaknya, negeri ini belum terlalu parah keadaannya jika para pengendali kekuasaan benar-benar amanah dan kembali ke prinsip mulia siapapun yang duduk di atas sebagai negara sebagai pelayan publik sejati.