Asingnya Penggunaan Bahasa Inggris

ealita yang sulit dibantah bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa pergaulan internasional nomor satu di dunia. Realita yang mudah ditemui jika kita berkomunikasi dengan orang dari negeri manapun dan juga banyaknya buku teks di perpustakaan yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya.
Di sisi yang lain penggunaan bahasa Inggris di negeri ini masih dianggap sebagai bahasa yang “asing”. Hal ini dikarenakan politik bahasa nasional masih mendudukkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, bukan sebagai bahasa pengantar di sekolah dan kampus kecuali di kelas-kelas tertentu di sekolah berstandar internasional (SBI). Hal ini berbeda dengan strategi politik bahasa di Malaysia dimana bahasa Inggris merupakan bahasa pengantar di sekolah dan kampus, meskipun bahasa Melayu masih tetap dijadikan sebagai bahasa nasional atau resmi. Seorang kenalan dari Malaysia yang sedang mengambil studi Kedokteran di UNS bercerita bahwa salah satu sebab majunya pembangunan di seantero Malaysia adalah karena digunakannya bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan sehingga tidak ada lagi language obstacle atau hambatan bahasa dalam mempelajari ilmu apapun yang diberikan oleh para Professor dan dosen. Sungguh wajar jika rata-rata pelajar dan mahasiswa Malaysia mahir berbahasa Inggris.
Fakta di negeri jiran tersebut rasanya sangat berbeda dengan yang saya alami selama ini yang sudah mengajar bahasa Inggris tujuh tahun di universitas dan sekolah tinggi. Masih banyak hambatan bahasa sehingga kemajuan pengetahuan anak didik dan mahasiswa menjadi lambat. Sering saya jumpai mahasiswa yang baik di universitas baik negeri maupun swasta belum memiliki kemampuan untuk berbicara dan mengarang dalam bahasa Inggris secara aktif. Kondisi yang memprihatinkan ini semakin diperparah dengan adanya ketakutan bahwa dengan diberlakukannya bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah dan kampus akan menggeser dan sekaligus menggusur peran bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Hal ini rasanya perlu dikaji lebih lanjut. Apakah negeri ini akan runtuh atau tercerai-berai jika menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan kita? Rasanya ini adalah ketakutan yang tidak rasional dan sangat berlebihan. Sudah saatnya politik bahasa nasional diubah dengan menjadikan bahasa Indonesia tetap sebagai bahasa nasional atau bahasa resmi sedangkan bahasa kedua atau bahasa pengajaran di sekolah dan kampus sebagai pilihannya adalah bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Hal ini adalah upaya yang strategis dan efektif untuk percepatan kemampuan sumber daya manusia di Indonesia.

KEUNIKAN RAGAM BAHASA YANG TIDAK BAKU

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarwini S.Pd dalam SOLOPOS 19/3/2009 berjudul “Penyingkatan Bahasa di Pasar” bahwa bahasa merupakan alat yang sangat penting bagi manusia untuk mengadakan interaksi dan bahasa bersifat arbirtrary atau manasuka. Bukan hanya demikian saja, tetapi bahasa dimanapun ia berada selalu berkembang dinamis mengikuti laju perkembangan zaman .Hal ini disebabkan oleh adanya daya kreatif manusia seperti yang diungkapkan Noam Chomsky, pakar Linguistik Amerika, bahwa tiap manusia memiliki kemampuan bawaansejak lahir (innate competence) untuk secara kreatif mengorganisir, mengkoherensikan, menyesuaikan dan merangkai kata dan frasa agar menjadi ujaran yang dapat di mengerti. Kemampuan ini adalah kemampuan kognitif yang jauh melampai kemampuan linguistik struktural-tradisional ala Leonard Bloomfield yang hanya melihat bahasa dari bentuk (form) dan isi bahasa (contents) dan mengabaikan atau tidak memahami aspek konteks sosio-kultural yang melingkupi sebuah ujaran bahasa. Contoh ketidakmampuan lingustik tradisional dalam menjelaskan fakta kebahasaan tertentu ialah contoh cara linguistik tradisional menjelaskan ekspresi “Ngebut–Benjut” yang sering kita temui di gang-gang sempit di kampung-kampung daerah perkotaan di Solo. Kajian linguistik struktural hanya memahami tuturan “Ngebut –Benjut” dengan penjelasan atas kata ‘Ngebut” sebagai Verba yang artinya “lari kencangnya kendaraan” sedangkan kata “Benjut” sebagai adjektiva yang artinya “wajah atau badan yang memar”. Lalu apa hubungan antara kendaraan yang lari kencang dengan wajah memar? Hal ini hanya bisa dipahami secara linguistis saja tetapi dengan bantuan studi Pragmatik bahwa ada konteks pertuturan yang melingkari tuturan itu. Tanpa konteks ini maka fakta kebahasan ini tidak bisa dipahami. Menurut kajian Pragmatik tuturan “Ngebut –Benjut” bisa dianalisis sebagai berikut: penutur adalah warga kampung, mitra tutur adalah semua orang yang lewat jalan kampung dengan kendaraan. Maksud atau konteks tuturan ialah warga kampung memberitahu orang yang lewat dengan kendaraan agar jangan suka ngebut karena banyak kejadian anak kecil tertabrak kendaraan yang ugal-ugalan. Jika sudah membaca tuturan “Ngebut-Benjut” masih saja memaksakan keinginan maka jika terjadi lagi kecelakaan maka yang terjadi akan jadi “benjut” wajah dan badan memar karena massa akan bertindak di luar hukum untuk menghakimi si pelanggar aturan masyarakat. Lalu kenapa peringatan ini diwujudkan dalam bentuk tulisan? Secara Sosiolinguistik fakta kebahasaan ini juga bisa dijelaskan dengan adanya collective mind (tata nilai, norma dan sistem sosial yang dimiliki bersama) masyarakat Jawa yang meskipun anti konflik tetapi lebih suka menyampaikan sesuatu secara tidak langsung atau tidak terus terang. Hal ini karena halusnya perasaan orang Jawa yang cenderung tidak mau mengingatkan dan menyalahkan orang yang dianggap bersalah di depan orang banyak. Tetapi kalau sudah kebangetan yang tetap akan mendapatkan hukuman sosial.