Showing posts with label linguistik. Show all posts
Showing posts with label linguistik. Show all posts

UNGKAPAN BAHASA YANG POSITIF

eformasi yang berasal dari kata Bahasa Inggris reform adalah suatu semangat pembaharuan untuk merombak tatanan lama yang menghambat kemajuan menuju masyarakat madani yang lebih tertata dan lebih baik. Jika dikaji setelah bertahun-tahun lamanya berlangsung era ini selain hasil-hasil yang positif terdapat juga ekses negatif dimana media cetak dan elektronik yang sebelumnya banyak mendapat represi dari pihak birokrat sekarang lebih bebas bahkan terkesan “terlalu bebas” dalam menyatakan gagasan dan opininya. Kebebasan tersebut terkadang bebas lepas seperti melewati jalan tol sehingga kurang adanya kontrol terhadap ungkapan bahasa yang terkadang menggunakan kata-kata yang kasar, vulgar dan porno. Ungkapan bahasa yang negatif semacam itu mudah kita temui sekarang ini pada judul-judul novel, film komedi nasional dan produk media apapun yang mengarah hanya pada mengikuti selera pembaca atau penonton. Contoh-contoh yang vulgar ga pengen aku tampilkan disini...disensor abizz pokoknya.. 
 Persoalan penting yang ingin dikemukakan disini adalah perlunya sosialisasi ungkapan bahasa yang positif agar pikiran kita menjadi lebih konstruktif dan positif. Hal ini saya kira yang justru sangat diperlukan di era kondisi sosial ekonomi yang carut-marut di negeri ini, bukan ungkapan-ungkapan bahasa negatif yang memajalkan otak dan mengotori hati nurani. Kajian tentang ungkapan bahasa dan korelasinya dengan pikiran manusia merupakan obyek kajian Psikolinguistik. Aitchinson mendefinisikan Psikolinguistik sebagai “Ilmu yang mempelajari proses mental yang dilalui oleh manusia dalam mereka berbahasa” (1998:1).

SALAHKAH TINGKAT TUTUR KRAMA DESA?

enurut Janet Holmes bahasa yang digunakan oleh anggota masyarakat bukanlah sesuatu yang mati tetapi terus hidup dan berkembang sejalan dengan dinamika tempat hidupnya masyarakat tersebut. Salah satu contohnya dalam penggunaan Bahasa Jawa ialah penggunaan ragam dalam undha usuk bahasa Jawa yang sering disebut Krama Desa. Yang dimaksudkan Krama Desa adalah bahasa Krama yang dipakai oleh orang yang sering dikatakan sebagai kurang dapat berbahasa dengan benar.
Tingkat tutur ini nampak jelas kelihatan aneh, jelek, dan kampungan jika dibandingkan dengan Basa Kedathon (bahasa istana) yang merupakan bahasa yang digunakan oleh para kerabat istana dan wilayah pemakaiannya pun terbatas hanya dalam istana. Ragam ini dianggap indah dan bagus karena prestise sosial tertentu. Di dalam masyarakat yang memuliakan kerajaan, keraton dianggap tempat terhormat bagi orang terhormat pula, bahasanya pun dianggap terhormat dan karena itu patut menjadi acuan (Sumarsono: 2002:29).
Jika cermati Krama Desa lebih tepat disebut dengan bahasa krama yang kurang baku atau nonstandar karena banyak kata krama yang tak baku misalnya kata milai (mulai), tanggi (tetangga), tegil (kebun), waos (gigi), percados (percaya), riyadin (idulfitri) atau menghaluskan nama suatu daerah dan kelompok masyarakat yang seharusnya tak perlu dikramakan menjadi Hyper-krama seperti ‘Semarang’, ‘Karanganyar’, ‘Pasar Gedhe’, ‘Pasar Pon’ dan ‘Cina’ menjadi ‘Semawis’, ‘Kawis Enggal’, ‘Peken Ageng’, ‘Peken Pon’ dan ‘Cinten’.
Melihat fenomena diatas menurut S.S.T Wisnu Sasangka, seorang pakar bahasa Jawa, penamaan Krama Desa sebenarnya merupakan olok-olok yang dilakukan orang kota terhadap orang desa. Saat itu orang yang tak dapat berbahasa dengan benar menurut orang Nagari (orang kota) diidentikkan dengan orang desa sehingga bahasa krama yang digunakan disebut Krama Desa (22:2004).
Yang menarik untuk dibahas disini adalah mengenai tepat atau tidaknya sikap orang kota yang dengan sudut pandang “kekotaannya” merasa bahasa mereka lebih “indah” dan “bagus” daripada bahasa orang desa. Kata “”Desa” dalam istilah “Krama Desa” bersinonim dengan kata “Kampung” yang jika diperdalam tingkat ejekannya menjadi kata “Kampungan”. Kata “Kampung” dan “Kampungan” berkonotasi tidak mengenal tata krama per-kota-an dan tak tahu sopan santun. Kata Samsudin Berlian seorang pakar linguistik, bahasa adalah kekuasaan. Orang kota yang lebih dekat dengan pusat kekuasaan seolah-olah punya hak istimewa untuk mengembangkan makna kata dan menyusun kamus. Padahal orang desa juga punya hak yang sama (190:2006).
Menurut kami setiap kelompok masyarakat entah di kota maupun di desa memiliki daya kreativitas masing-masing dalam mengembangkan bahasa. Kreativitas itu bila secara manasuka (arbitrer) disepakati oleh kelompok masyarakat tertentu akan memperkaya khazanah ragam bahasa Jawa yang ada. Jadi meskipun ungkapan leksikon Krama desa itu seolah-olah terdengar jelek, aneh dan kampungan rasanya tak ada yang salah dengan ungkapan tersebut. Seperti halnya mendengar ungkapan dialek Banyumasan “Wetenge kencot” (perutnya lapar) atau “Ramane teka”(ayahnya datang). Tidak ada yang salah. Semua itu adalah wujud kreativitas bahasa yang perlu dihargai dan dihormati eksistensinya.

KEUNIKAN RAGAM BAHASA YANG TIDAK BAKU

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarwini S.Pd dalam SOLOPOS 19/3/2009 berjudul “Penyingkatan Bahasa di Pasar” bahwa bahasa merupakan alat yang sangat penting bagi manusia untuk mengadakan interaksi dan bahasa bersifat arbirtrary atau manasuka. Bukan hanya demikian saja, tetapi bahasa dimanapun ia berada selalu berkembang dinamis mengikuti laju perkembangan zaman .Hal ini disebabkan oleh adanya daya kreatif manusia seperti yang diungkapkan Noam Chomsky, pakar Linguistik Amerika, bahwa tiap manusia memiliki kemampuan bawaansejak lahir (innate competence) untuk secara kreatif mengorganisir, mengkoherensikan, menyesuaikan dan merangkai kata dan frasa agar menjadi ujaran yang dapat di mengerti. Kemampuan ini adalah kemampuan kognitif yang jauh melampai kemampuan linguistik struktural-tradisional ala Leonard Bloomfield yang hanya melihat bahasa dari bentuk (form) dan isi bahasa (contents) dan mengabaikan atau tidak memahami aspek konteks sosio-kultural yang melingkupi sebuah ujaran bahasa. Contoh ketidakmampuan lingustik tradisional dalam menjelaskan fakta kebahasaan tertentu ialah contoh cara linguistik tradisional menjelaskan ekspresi “Ngebut–Benjut” yang sering kita temui di gang-gang sempit di kampung-kampung daerah perkotaan di Solo. Kajian linguistik struktural hanya memahami tuturan “Ngebut –Benjut” dengan penjelasan atas kata ‘Ngebut” sebagai Verba yang artinya “lari kencangnya kendaraan” sedangkan kata “Benjut” sebagai adjektiva yang artinya “wajah atau badan yang memar”. Lalu apa hubungan antara kendaraan yang lari kencang dengan wajah memar? Hal ini hanya bisa dipahami secara linguistis saja tetapi dengan bantuan studi Pragmatik bahwa ada konteks pertuturan yang melingkari tuturan itu. Tanpa konteks ini maka fakta kebahasan ini tidak bisa dipahami. Menurut kajian Pragmatik tuturan “Ngebut –Benjut” bisa dianalisis sebagai berikut: penutur adalah warga kampung, mitra tutur adalah semua orang yang lewat jalan kampung dengan kendaraan. Maksud atau konteks tuturan ialah warga kampung memberitahu orang yang lewat dengan kendaraan agar jangan suka ngebut karena banyak kejadian anak kecil tertabrak kendaraan yang ugal-ugalan. Jika sudah membaca tuturan “Ngebut-Benjut” masih saja memaksakan keinginan maka jika terjadi lagi kecelakaan maka yang terjadi akan jadi “benjut” wajah dan badan memar karena massa akan bertindak di luar hukum untuk menghakimi si pelanggar aturan masyarakat. Lalu kenapa peringatan ini diwujudkan dalam bentuk tulisan? Secara Sosiolinguistik fakta kebahasaan ini juga bisa dijelaskan dengan adanya collective mind (tata nilai, norma dan sistem sosial yang dimiliki bersama) masyarakat Jawa yang meskipun anti konflik tetapi lebih suka menyampaikan sesuatu secara tidak langsung atau tidak terus terang. Hal ini karena halusnya perasaan orang Jawa yang cenderung tidak mau mengingatkan dan menyalahkan orang yang dianggap bersalah di depan orang banyak. Tetapi kalau sudah kebangetan yang tetap akan mendapatkan hukuman sosial.

siapa noam chomsky?

Avram Noam Chomsky (lahir di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat, 7 Desember 1928; umur 80 tahun) adalah seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts. Salah satu reputasi Chomsky di bidang linguistik terpahat lewat teorinya tentang tata bahasa generatif.

Kepakarannya di bidang linguistik ini mengantarkannya merambah ke studi politik. Chomsky telah menulis lebih dari 30 buku politik, dengan beragam tema. Dan sejak 1965 hingga kini, dia menjelma menjadi salah satu tokoh intelektual yang paling kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Buku-buku bertema politiknya kerap dianggap terlalu radikal untuk diresensi atau ditampilkan media AS.

Selama lima dasawarsa ini, Chomsky telah menjalin kontrak secara langsung dengan lebih dari 60 penerbit di seluruh dunia dan sudah menulis lebih dari 30 buku bertema politik. Dan baris-baris kalimat dalam tulisannya muncul di lebih dari 100 buku, mulai dari karya ilmiah tentang linguistik, politik, hingga kumpulan kuliah, wawancara dan esai.

Tidak banyak barangkali sosok penulis best seller yang bersikap seperti seperti Noam Chomsky. Bagi dia, menulis buku adalah perpanjangan dari aktivitas politiknya. Bila sebagian besar penulis menghabiskan energinya mencemaskan tentang promosi dan penjualan buku mereka, tidaklah demikian dengan Chomsky. Kritikus yang aktif mengomentari kebijakan politik luar negeri AS ini, selalu menolak melakukan tur standar untuk mempromosikan bukunya. Chomsky bahkan tidak begitu peduli dengan urusan uang muka royalti, pasal-pasal dalam kontrak, dan hak-hak yang diberikan penerbit.
more articles: noam chomsky in wikipedia, pendekar linguistik amerika !