Showing posts with label linguistics. Show all posts
Showing posts with label linguistics. Show all posts

Linguists views on the concept of Lexeme

I. Introduction

            As we know, nowadays, many linguists use the term 'word' less carefully, so Lyons proposes as follows,

            "However, since most linguists now employ the term 'word' to refer to such phonological or orthographical units such as /saen/ or 'sang' on the one hand, or to the grammatical units they represent, on the other hand, (and indeed do not always distinguish even between these two senses), we shall introduce another term, lexeme, to denote the more 'abstract' units which occur in different inflexional 'forms' according to the syntactic rules involved in the generation of sentences" (1968:197). So, the word or 'word' is distinguished from the word or 'lexeme'.

List JURNAL SINTA 1 & 2 Bidang BAHASA INGGRIS dan LINGUISTIK

 *JURNAL SINTA 1 dan SINTA 2*

Bidang BAHASA INGGRIS dan LINGUISTIK

 
Data dari SINTA RISTEKDIKTI 

https://sinta.ristekbrin.go.id/journals?q=&search=1&sinta=2

_Keywords_: English, EFL, Language, Linguistics

SINTA 1

1. TEFLIN Journal
The Association for the Teaching of English as a Foreign Language in Indonesia (TEFLIN)
website: http://journal.teflin.org/index.php/journal

2. IJAL (Indonesian Journal of Applied Linguistics)

Universitas Pendidikan Indonesia
website: http://ejournal.upi.edu/index.php/IJAL

KRITIK SOSIAL POLITIK DALAM BAHASA PLESETAN

SBY-JK: Susah Bensin Ya Jalan Kaki
BBM : Baru Bisa Mimpi
KUHP: Kasih Uang Habis Perkara


Ungkapan bahasa yang “Deviant” atau “Nyeleneh” di atas mudah kita jumpai dalam acara-acara komedi di televisi dan radio dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa yang mengandung unsur humor yang menggelitik tersebut pertama kali diperkenalkan oleh pelawak Marwoto di TVRI Yogyakarta yang kemudian lebih populer dikembangkan oleh Kelik Pelipur Lara dari grup LBH (Lembaga Bantuan Humor). Kelik si raja plesetan ini mulai terkenal ketika dia pernah menjabat sebagai “Wakil Presiden” di acara Republik BBM (“Baru Bisa Mimpi”) dan sekarang tampil di acara “DemoCrazy” di MetroTV. Menurut Kelik bahasa plesetan bukan sekedar guyonan biasa tetapi merupakan humor cerdas yang bertujuan membuat orang mau berpikir atas persoalan sosial politik bangsa ini. Plesetan bukanlah sekedar lelucon. Ia adalah “perlawanan” terhadap hegemoni politik negara dengan bahasa nasionalnya yang dianggap telah begitu lama menguasai kehidupan sehari-hari warga biasa. Dalam bahasa plesetan dapat ditemukan persepsi yang unik dari rakyat biasa terhadap persoalan sosial politik yang diungkapkan dalam bentuk permainan bahasa.
Bahasa plesetan mulai populer pada tahun 1990-an. Tahun-tahun ketika isu sosial politik mulai menjadi pembicaraan yang hangat. Beberapa tayangan lawak yang disiarkan di televisi tidak lagi mengandalkan “guyonan garing” yang menampilkan kebodohan pelawak, melainkan mulai menggunakan gaya plesetan. Pada saat itu yang menjadi sasaran utama plesetan adalah isu-isu sosial politik, meskipun hal ini dilakukan dengan tidak terang-terangan. Bahasa plesetan pada masa itu merupakan refleksi ketidakpuasan masyarakat terhadap kekuasaan yang sifatnya sangat dominan.
Darimana kah asal-muasal bahasa plesetan ini? Yogyakarta adalah kota yang diyakini sebagai tempat kelahirannya. Di kota ini bahasa plesetan bukanlah sesuatu yang baru. Permainan bahasa ini diakrabi masyarakat sejak mereka masih kecil. Plesetan telah menjadi cara yang unik dan kreatif bagi masyarakat umum untuk menciptakan suasana yang penuh canda dan sejenak melepaskan diri dari himpitan persoalan kehidupan sehari-hari. Kemahiran dalam permainan bunyi kemudian menjadi salah satu modal yang penting bagi mereka untuk menjaga kedekatan dan keakraban satu sama lain.
Pengamat seni dan budaya seperti Alia Swastika meyakini bahwa kemahiran orang Yogya bermain plesetan ini disebabkan karena budaya mereka yang senang tampil beda dan juga kesenangan mengobrol dan melepas humor. Kebiasaan bersantai dengan lingkungan sepergaulan diwujudkan dengan kegiatan kumpul-kumpul sambil mengobrol tentang banyak hal .Dari sinilah kemudian muncul dialog dan cara menyampaikan ujaran-ujaran yang beragam, sampai lahir plesetan. Disamping itu, ada karakter khas orang Jawa yang sepertinya mempengaruhi kebiasaan plesetan mereka. Orang Jawa dianggap anti konflik dan tidak suka berterus terang. Jika tidak setuju akan sesuatu, orang Jawa cenderung menyampaikannya dengan bahasa yang halus untuk menghindari pertikaian. Karenanya, kritik-kritik kemudian disampaikan dengan “kemasan lain”, yang diharapkan tidak membuat pihak yang dikritik tersinggung. Humor adalah satu bentuk yang dianggap paling efektif.
Di tahun 1994, di Yogyakarta muncul fenomena baru dalam hal plesetan. Ada sekelompok mahasiswa UGM yang mendirikan perusahaan kaus oblong “Dagadu” menawarkan cinderamata alternatif khas Yogyakarta. Jika dilihat dari asal kata “Dagadu” adalah makian khas masyarakat Yogya yang berarti “Ma-ta-mu”. Rumus mengganti kata “matamu” dengan “dagadu” adalah rumus “Basa Walikan” yang merupakan salah satu variasi plesetan khas Yogyakarta. Bagi orang luar Yogya, untuk dapat mengerti basa walikan ini tidak cukup dengan mengerti bahasa Jawa saja, melainkan ia harus menguasai dua puluh karakter dasar huruf Jawa. Seperti halnya permainan bahasa yang lain, “Basa Walikan” ini adalah cara khas masyarakat kelas bawah untuk menampilkan identitas mereka. Lewat bahasa mereka mengukuhkan eksistensi—karena di luar wilayah itu, mereka tidak pernah diakui keberadaannya.
Hampir mirip dengan bahasa prokem di Jakarta “Basa Walikan” menjadi bahasa yang awalnya digunakan oleh preman-preman untuk melakukan komunikasi antar mereka dan menyampaikan informasi penting dan rahasia, demi melindungi mereka dari para penegak hukum. Masyarakat awam mulai mengambil bahasa ini untuk mencari nuansa yang berbeda, untuk menemukan cara yang lain dalam menyampaikan kritik dan ekspresi perasaan mereka. Basa Walikan tiba-tiba menjadi bahasa yang enak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Satu contohnya ialah plesetan Kata “Malio-Boro” menjadi “Malio-Boros’’. Dalam contoh ini terlihat jelas upaya bermain-main dengan keisengan kreatif dengan memberikan aksentuasi dan penambahan huruf ‘’s’’ pada kata ‘’Malioboro’’ yang bermuara perbedaan makna sangat signifikan. Konotasi kata ‘’Malioboro’’ plus huruf ‘’s’’ menjadi bermakna negatif dan kenegatifan ‘’Malio-boros’’ ini sengaja dieksploitasi dan dijual Dalam pandangan ide pihak Dagadu Djokdja, tema ‘’Malio-Boro menjadi Malio-Boros’’ dimaksudkan bahwa belanja di kawasan Malioboro itu “Marai” (“menyebabkan”) boros. Lewat pendekatan poster, para desainer Dagadu mencoba menyampaikan uneg-uneg kolektifnya untuk menyampaikan suatu keinginan sekaligus mengingatkan kepada kita betapa borosnya belanja di kaki lima sepanjang kawasan Malioboro. Pedagang lesehan yang menjual dagangannya tanpa memasang harga tarif secara wajar, ditambah pula dengan perilaku penjaja cinderamata yang menawarkan harga sangat tinggi. Selain itu , muncul pula fenomena warung-warung makan di pinggir jalan yang menggunakan formula plesetan yang terasa ‘mengejek’ hal-hal yang lebih mapan misalnya warung makan yang dinamai “Ken (”Disuruh”)-Tuku (”Membeli”) Fried Chicken”, atau “Ken-Chick” sebagai kebalikan dari kata ”Chicken”.

Who is leonard Bloomfield?

Leonard Bloomfield (April 1, 1887 – April 18, 1949) was an American linguist who led the development of structural linguistics in the United States during the 1930s and the 1940s. His influential textbook Language presented a comprehensive description of American structural linguistics.[1] He made significant contributions to Indo-European historical linguistics, the description of Austronesian languages, and description of languages of the Algonquian family.

Bloomfield's approach to linguistics was characterized by its emphasis on the scientific basis of linguistics, adherence to behaviorism especially in his later work, and emphasis on formal procedures for the analysis of language data. The influence of Bloomfieldian structural linguistics declined in the late 1950s and 1960s as the theory of Generative Grammar developed by Noam Chomsky came to predominate.
Indo-European linguistics

Bloomfield's earliest work was in historical Germanic studies, beginning with his dissertation, and continuing with a number of papers on Indo-European and Germanic phonology and morphology.[20][21] His post-doctoral studies in Germany further strengthened his expertise in the Neogrammarian tradition, which still dominated Indo-European historical studies.[22] Bloomfield throughout his career, but particularly during his early career, emphasized the Neogrammarian principle of regular sound change as a foundational concept in historical linguistics.[23][24]

Although Bloomfield's original work in Indo-European beyond his dissertation was limited to an article on palatal consonants in Sanskrit,[25] and one article on the Sanskrit grammatical tradition associated with Pāṇini,[26] in addition to a number of book reviews, he made extensive use of Indo-European materials to explain historical and comparative principles in both of his textbooks, An introduction to language (1914), and his seminal Language (1933).[27] In his textbooks he selected Indo-European examples that supported the key Neogrammarian hypothesis of the regularity of sound change, and emphasized a sequence of steps essential to success in comparative work: (a) appropriate data in the form of texts which must be studied intensively and analysed; (b) application of the comparative method; (c) reconstruction of proto-forms.[28] He further emphasized the importance of dialect studies where appropriate, and noted the significance of sociological factors such as prestige, and the impact of meaning.[29] In addition to regular change, Bloomfield also allowed for borrowing and analogy as forms of linguistic change.[30]

It is argued that Bloomfield's Indo-European work had two broad implications:(a) "He stated clearly the theoretical bases for Indo-European linguistics..."; (b) "...he established the study of Indo-European languages firmly within general linguistics...."
more articles: http://en.wikipedia.org/wiki/Leonard_Bloomfield

siapa noam chomsky?

Avram Noam Chomsky (lahir di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat, 7 Desember 1928; umur 80 tahun) adalah seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts. Salah satu reputasi Chomsky di bidang linguistik terpahat lewat teorinya tentang tata bahasa generatif.

Kepakarannya di bidang linguistik ini mengantarkannya merambah ke studi politik. Chomsky telah menulis lebih dari 30 buku politik, dengan beragam tema. Dan sejak 1965 hingga kini, dia menjelma menjadi salah satu tokoh intelektual yang paling kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Buku-buku bertema politiknya kerap dianggap terlalu radikal untuk diresensi atau ditampilkan media AS.

Selama lima dasawarsa ini, Chomsky telah menjalin kontrak secara langsung dengan lebih dari 60 penerbit di seluruh dunia dan sudah menulis lebih dari 30 buku bertema politik. Dan baris-baris kalimat dalam tulisannya muncul di lebih dari 100 buku, mulai dari karya ilmiah tentang linguistik, politik, hingga kumpulan kuliah, wawancara dan esai.

Tidak banyak barangkali sosok penulis best seller yang bersikap seperti seperti Noam Chomsky. Bagi dia, menulis buku adalah perpanjangan dari aktivitas politiknya. Bila sebagian besar penulis menghabiskan energinya mencemaskan tentang promosi dan penjualan buku mereka, tidaklah demikian dengan Chomsky. Kritikus yang aktif mengomentari kebijakan politik luar negeri AS ini, selalu menolak melakukan tur standar untuk mempromosikan bukunya. Chomsky bahkan tidak begitu peduli dengan urusan uang muka royalti, pasal-pasal dalam kontrak, dan hak-hak yang diberikan penerbit.
more articles: noam chomsky in wikipedia, pendekar linguistik amerika !