Pragmatik: dari Morris sampai van Dijk dan Perkembangannya di Indonesia


Pragmatik: dari Morris sampai van Dijk dan Perkembangannya di Indonesia
oleh Dheka Dwi Agusti N.

Judul Jurnal : Pragmatik: dari Morris sampai van Dijk dan Perkembangannya di Indonesia
Penulis : Aceng Ruhendi Saifullah

tahun terbitan :2002

Penerbit : Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS- UPI

Abstrak


Jurnal Pragmatik: dari Morris sampai van Dijk dan Perkembangannya di Indonesia(2002) karya Aceng Ruhendi Saifullah dimaksudkan sebagai pengantar dalam mengenal dan memahami pragmatik. Pragmatik dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu linguistik mengenai tujuan ujaran dalam situasi tertentu.

Bahasa merupakan suatu sistem yang sistematis dan sistemis. Dalam bahasa terdapat subsistem –fonologi, gramatika, dan leksikon- dunia bunyi dan dunia makna yang bertemu dan membentuk struktur. Di antara keduanya itu terdapatlah konteks yang mempengaruhi keserasian sistem suatu bahasa. Konteks yaitu unsur di luar bahasa yang kemudian dikaji dalam pragmatik ini.



Pengetahuan mengenai sejarah tumbuh dan berkembangnya pragmatik ini akan sangat membantu dalam proses memahami dan mempelajari studi ini. Siapa dan apa gagasan yang dibawa para ahli linguistik ini, memiliki andil yang sangat besar bagi perkembangan studi dalam peta linguistik yang merupakan tahap terakhir dalam gelombang ekspansi linguistik, dari sebuah disiplin sempit yang mengurusi data fisik bahasa, menjadi suatu disiplin yang luas yang meliputi bentuk, makna, dan konteks.



Kata Kunci: pragmatik, konteks, pragmalinguistik, sosiopragmatik, prinsip kerjasama, implikatur percakapan, bidal kuantitas, analisis wacana kritis, tamengan, mikropragmatik dan makropragmatik.









Pendahuluan


Kajian pragmatik dipilah menjadi dua bagian oleh Leech (1983) yakni pragmalinguistik dan sosiopragmatik. Kajian pragmalinguistik dekat dengan tradisi Anglo-Amerika, dan sosiopragmatik beririsan dengan kajian pragmatik Kontinental. Tradisi kajian pragmatik Anglo-Amerika digolongkan sebagai kajian linguistik formal, sedangkan tradisi kajian pragmatik Kontinental digolongkan sebagai kajian linguistik fungsional. (Gunarwan, 1996)



Pragmatik tradisi kontinental menjadi latar kajian ini. Dengan pertimbangan bahwa analisis pragmatik ini memiliki jangkauan kajian yang lebih luas dan dalam, yakni mencakup tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi, sebagaimana ditunjukkan oleh Schiffrin (1994), Yule (1996), dan van Dijk (1998; 2000).



Perkembangan Pragmatik di Dunia


Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun 1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian Halliday (1960) yang berusahamengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial.



Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975), banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words (1962). Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan konstatif. Gagasan penting lainnya adalah tentang tindak lokusi, ilokusi, perlokusi, dan daya ilokusi tuturan.



Beberapa pemikir pragmatik lainnya, yaitu:


Searle (1969) mengembangkan pemikiran Austin. Ia mencetuskan teori tentang tindak tutur yang dianggap sangat penting dalam kajian pragmatik. Tindak tutur yang tidak terbatas jumlahnya itu dikategorisasikan berdasarkan makna dan fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisih, dan deklaratif.



Grice (1975) mencetuskan teori tentang prinsip kerja sama (cooperative principle) dan implikatur percakapan (conversational implicature). Menurut Grace, prinsip kerja sama adalah prinsip percakapan yang membimbing pesertanya agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif dan dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Prinsip ini terdiri atas empat bidal: kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Menurut Gunarwan (1994: 54), keunggulan teori prinsip kerja sama ini terletak pada potensinya sebagai teori inferensi apakah yang dapat ditarik dari tuturan yang bidal kerja sama itu.



Keenan (1976) menyimpulkan bahwa bidal kuantitas, yaitu “buatlah sumbangan Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan”. Hal ini berdasarkan penelitian tentang penerapan prinsip kerja sama di masyarakat Malagasi.



Goody (1978) menemukan bahwa pertanyaan tidak hanya terbatas digunakan untuk meminta informasi, melainkan juga untuk menyuruh, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status.



Fraser (1978) telah melakukan deskripsi ulang tentang jenis tindak tutur.



Gadzar (1979) membicarakan bidang pragmatik dengan tekanan pada tiga topik, yaitu: implikatur, praanggapan, dan bentuk logis.



Gumperz (1982) mengembangkan teori implikatur Grizer dalam bukunya Discourse Strategies. Ia berpendapat bahwa pelanggaran atas prinsip kerja sama seperti pelanggaran bidal kuantitas dan cara menyiratkan sesuatu yang tidak dikatakan. Sesuatu yang tidak diekspresikan itulah yang dinamakan implikatur percakapan.



Levinson (1983) mengemukakan revisi sebagai uapaya penyempurnaan pendapat Grize tentang teori implikatur.



Leech (1983) mengemukakan gagasannya tentang prinsip kesantunan dengan kaidah yang dirumuskannya ke dalam enam bidal: ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian.



Mey (1993) mengemukakan gagasan baru tentang pembagian pragmatik: mikropragmatik dan makropragmatik.



Schiffrin (1994) mambahas berbagai kemudian kajian wacana dengan menggunakan pendekatan pragmatik.



Yule (1996) mengembangkan teori tentang PKS dengan menghubungkannya dengan keberadaan tamengan (hedges) dan tuturan langsung-tuturan tak langsung.



van Dijk (1998-2000) mengembangkan model analisis wacana kritis (Critical Discourse Analyses/ CDA) di dalam teks berita. Ia mengidentifikasi adanya lima karakteristik yang harus dipertimbangkan di dalam CDA, yaitu: tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi.



Contoh Analisis: Pematuhan dan Pelanggaran Bidal Kuantitas dan Implikaturnya.


Bidal kuantitas adalah bidal yang berisi nasihat yang menyangkut jumlah kontribusi yang disumbangkan oleh peserta percakapan terhadap koherensi percakapan. Contohnya yaitu tuturan tak bertamengan yang mematuhi bidal kuantitas dalam konteks Amien Rais sebagai seorang ilmuwan dan praktisi politik, sedang diwawancarai oleh Wimar Witoelar selaku pemandu acara talkshow “Perspektif” di stasiun televisi SCTV, pada 20 Februari 1995. dengan topik wawancara seputar kinerja anggota DPR/MPR periode 1992-1997.


Contoh kedua adalah tuturan bertamengan yang melanggar bidal kuantitas dalam konteks Dodo Hartoko sebagi seorang pemusik muda yang dikenal sebagai pengasuh anak-anak jalanan di kawasan jalan Malioboro, Yogyakarta, sedang diwawancarai Wimar Witoelar selaku pemandu acara talkshow “Perspektif” di stasiun televisi SCTV, pada 14 Juni 1994, dengan topik wawancara seputar pengalamannya mengasuh anak-anak jalanan.


Dan kesimpulannya yaitu:


Bentuk Tuturan Bidal Kuantitas Fungsi Implikatur


takbertamengan mematuhi memberikan informasi menimbulkan citra positif


yang singkat dan akurat pada diri penutur



bertamengan melanggar penanda kehati-hatian menimbulkan citra positif


dan pelindung muka pada diri penutur




Perkembangan Pragmatik di Indonesia


Istilah pragmatik secara nyata di Indonesia muncul pada 1984 ketika diberlakukannyaKurikulum Sekulah Menengah Atas tahun 1984. Dalam kurikulum ini pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi bahasa Indonesia (Depdikbud, 1984).



Beberapa karya mengenai pragmatik mulai bermunculan. Diawali oleh Tarigan (1986) yang membahas tentang pragmatik secra umum. Nababan (1987) dan Suyono (1990) juga masih terkesan „memperkenalkan pragmatik“, sebab belum membahas pragmatik secara rinci dan luas. Pada karya Tallei (1988), Lubis (1993), dan Ibrahim (1993) tampak deskripsi yang agak mendalam, tetapi orisinalitas gagasanya agak diragukan karena, terutama pada karya Tallei, hampir sepenuhnya mengacu pada buku Discourse Analyses karya Stubbs (1983). Buku pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo (1990) dengan judul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Karya Wijana (1996) yang berjudul Dasar-dasar Pragmatik sudah menuju ke arah pragmatik yang lebih lengkap dan mendalam.



Beberapa penelitian pun telah dilakukan dalam rangka disertasi, di antaranya adalah Kaswanti Purwo (1984), Rofiudin (1994), Gunarwan (1992-1995), Rustono (1998), dan terakhir Saifullah (2001) dalam tesis magisternya.



Simpulan


Pragmatik adalah studi baru dalam ilmu bahasa di dunia termasuk Indonesia. Namun, perkembangannya sangat pesat. Hal ini dimungkinkan karena adanya sifat-sifat bahasa yang dapat dimengerti melalui linguistik, agar bahasa dapat digunakan dalam komunikasi. Linguistik adalah studi yang jangkauannya semakin meluas sehingga menyebabkan pandangan mengenai hakikat bahasa dan batasan linguistik juga berubah dan semakin meluas. Banyak pemikir pragmatik bermunculan bersama karyanya, membawa pengetahuan dan perkembangan baru bagi studi yang dapat dikatakan baru seumur jagung ini. Meskipun hingga saat ini, mereka yang mengembangkan paradigma pragmatik masih mendapat pengaruh besar terutama dari Austin dan Searle, perumus pandangan tentang makna dari segi daya ilokusi, dan dari Grice yang memandang makna dari segi amplikatur percakapan.

No comments:

Post a Comment

Thanks for your comment...I am looking forward your next visit..