KRITIK SOSIAL POLITIK DALAM BAHASA PLESETAN

SBY-JK: Susah Bensin Ya Jalan Kaki
BBM : Baru Bisa Mimpi
KUHP: Kasih Uang Habis Perkara


Ungkapan bahasa yang “Deviant” atau “Nyeleneh” di atas mudah kita jumpai dalam acara-acara komedi di televisi dan radio dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa yang mengandung unsur humor yang menggelitik tersebut pertama kali diperkenalkan oleh pelawak Marwoto di TVRI Yogyakarta yang kemudian lebih populer dikembangkan oleh Kelik Pelipur Lara dari grup LBH (Lembaga Bantuan Humor). Kelik si raja plesetan ini mulai terkenal ketika dia pernah menjabat sebagai “Wakil Presiden” di acara Republik BBM (“Baru Bisa Mimpi”) dan sekarang tampil di acara “DemoCrazy” di MetroTV. Menurut Kelik bahasa plesetan bukan sekedar guyonan biasa tetapi merupakan humor cerdas yang bertujuan membuat orang mau berpikir atas persoalan sosial politik bangsa ini. Plesetan bukanlah sekedar lelucon. Ia adalah “perlawanan” terhadap hegemoni politik negara dengan bahasa nasionalnya yang dianggap telah begitu lama menguasai kehidupan sehari-hari warga biasa. Dalam bahasa plesetan dapat ditemukan persepsi yang unik dari rakyat biasa terhadap persoalan sosial politik yang diungkapkan dalam bentuk permainan bahasa.
Bahasa plesetan mulai populer pada tahun 1990-an. Tahun-tahun ketika isu sosial politik mulai menjadi pembicaraan yang hangat. Beberapa tayangan lawak yang disiarkan di televisi tidak lagi mengandalkan “guyonan garing” yang menampilkan kebodohan pelawak, melainkan mulai menggunakan gaya plesetan. Pada saat itu yang menjadi sasaran utama plesetan adalah isu-isu sosial politik, meskipun hal ini dilakukan dengan tidak terang-terangan. Bahasa plesetan pada masa itu merupakan refleksi ketidakpuasan masyarakat terhadap kekuasaan yang sifatnya sangat dominan.
Darimana kah asal-muasal bahasa plesetan ini? Yogyakarta adalah kota yang diyakini sebagai tempat kelahirannya. Di kota ini bahasa plesetan bukanlah sesuatu yang baru. Permainan bahasa ini diakrabi masyarakat sejak mereka masih kecil. Plesetan telah menjadi cara yang unik dan kreatif bagi masyarakat umum untuk menciptakan suasana yang penuh canda dan sejenak melepaskan diri dari himpitan persoalan kehidupan sehari-hari. Kemahiran dalam permainan bunyi kemudian menjadi salah satu modal yang penting bagi mereka untuk menjaga kedekatan dan keakraban satu sama lain.
Pengamat seni dan budaya seperti Alia Swastika meyakini bahwa kemahiran orang Yogya bermain plesetan ini disebabkan karena budaya mereka yang senang tampil beda dan juga kesenangan mengobrol dan melepas humor. Kebiasaan bersantai dengan lingkungan sepergaulan diwujudkan dengan kegiatan kumpul-kumpul sambil mengobrol tentang banyak hal .Dari sinilah kemudian muncul dialog dan cara menyampaikan ujaran-ujaran yang beragam, sampai lahir plesetan. Disamping itu, ada karakter khas orang Jawa yang sepertinya mempengaruhi kebiasaan plesetan mereka. Orang Jawa dianggap anti konflik dan tidak suka berterus terang. Jika tidak setuju akan sesuatu, orang Jawa cenderung menyampaikannya dengan bahasa yang halus untuk menghindari pertikaian. Karenanya, kritik-kritik kemudian disampaikan dengan “kemasan lain”, yang diharapkan tidak membuat pihak yang dikritik tersinggung. Humor adalah satu bentuk yang dianggap paling efektif.
Di tahun 1994, di Yogyakarta muncul fenomena baru dalam hal plesetan. Ada sekelompok mahasiswa UGM yang mendirikan perusahaan kaus oblong “Dagadu” menawarkan cinderamata alternatif khas Yogyakarta. Jika dilihat dari asal kata “Dagadu” adalah makian khas masyarakat Yogya yang berarti “Ma-ta-mu”. Rumus mengganti kata “matamu” dengan “dagadu” adalah rumus “Basa Walikan” yang merupakan salah satu variasi plesetan khas Yogyakarta. Bagi orang luar Yogya, untuk dapat mengerti basa walikan ini tidak cukup dengan mengerti bahasa Jawa saja, melainkan ia harus menguasai dua puluh karakter dasar huruf Jawa. Seperti halnya permainan bahasa yang lain, “Basa Walikan” ini adalah cara khas masyarakat kelas bawah untuk menampilkan identitas mereka. Lewat bahasa mereka mengukuhkan eksistensi—karena di luar wilayah itu, mereka tidak pernah diakui keberadaannya.
Hampir mirip dengan bahasa prokem di Jakarta “Basa Walikan” menjadi bahasa yang awalnya digunakan oleh preman-preman untuk melakukan komunikasi antar mereka dan menyampaikan informasi penting dan rahasia, demi melindungi mereka dari para penegak hukum. Masyarakat awam mulai mengambil bahasa ini untuk mencari nuansa yang berbeda, untuk menemukan cara yang lain dalam menyampaikan kritik dan ekspresi perasaan mereka. Basa Walikan tiba-tiba menjadi bahasa yang enak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Satu contohnya ialah plesetan Kata “Malio-Boro” menjadi “Malio-Boros’’. Dalam contoh ini terlihat jelas upaya bermain-main dengan keisengan kreatif dengan memberikan aksentuasi dan penambahan huruf ‘’s’’ pada kata ‘’Malioboro’’ yang bermuara perbedaan makna sangat signifikan. Konotasi kata ‘’Malioboro’’ plus huruf ‘’s’’ menjadi bermakna negatif dan kenegatifan ‘’Malio-boros’’ ini sengaja dieksploitasi dan dijual Dalam pandangan ide pihak Dagadu Djokdja, tema ‘’Malio-Boro menjadi Malio-Boros’’ dimaksudkan bahwa belanja di kawasan Malioboro itu “Marai” (“menyebabkan”) boros. Lewat pendekatan poster, para desainer Dagadu mencoba menyampaikan uneg-uneg kolektifnya untuk menyampaikan suatu keinginan sekaligus mengingatkan kepada kita betapa borosnya belanja di kaki lima sepanjang kawasan Malioboro. Pedagang lesehan yang menjual dagangannya tanpa memasang harga tarif secara wajar, ditambah pula dengan perilaku penjaja cinderamata yang menawarkan harga sangat tinggi. Selain itu , muncul pula fenomena warung-warung makan di pinggir jalan yang menggunakan formula plesetan yang terasa ‘mengejek’ hal-hal yang lebih mapan misalnya warung makan yang dinamai “Ken (”Disuruh”)-Tuku (”Membeli”) Fried Chicken”, atau “Ken-Chick” sebagai kebalikan dari kata ”Chicken”.

1 comment:

  1. sudah dimuat di koran solopos
    http://img411.imageshack.us/img411/7249/artiklesolopos.jpg

    ReplyDelete

Thanks for your comment...I am looking forward your next visit..